(Doc. Twitter)
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) salah satunya terjadi karena
gesekan panas di bawah tanah, terlebih lagi untuk lahan gambut saat musim
kemarau. Hal ini akan menimbulkan kebakaran hutan yang sulit diatasi. Dikutip dari
Kompasiana.com, kebakaran hutan yang akhir-akhir ini terjadi di Kalimantan dan
Sumatera merupakan masalah politik.
Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB)
yang diuanggah pada 24 September 2019 pukul 16.00 WIB di akun Twitter
@BNPB_Indonesia, Indeks Standar Pencemar
Udara (ISPU) yang mendapati status Sangat Tidak Sehat tepat di Jambi
dengan tingkat titik panas (hot spot) sebesar 50 titik, sementara total
lahan yang terbakar di Indonesia yakni 328.724 ha dihitung dari Januari-Agustus
2019.
Kebakaran hutan ialah salah satu dampak dari cara pembukaan lahan.
Areal hutan yang diindikasi dibuka untuk kepentingan perkebunan ini, dibakar
untuk meminimalisir biaya yang digunakan untuk pembukaan lahan. Alih-alih
menggunakan metode yang notabene membutuhkan biaya yang lebih banyak dalam
proseduralnya.
Membicarakan perihal pembukaan lahan tentunya tidak bisa lepas dari
intervensi pemerintah setempat yang berwenang. Karena pada dasarnya, pemegang
kebijakan tentang perizinan pembukaan lahan atau perubahan luas wilayah suatu
perusahaan diterbitkan oleh gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan.
Sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 32 Ayat (1) Peraturan Menteri Pertanian (PERMENTAN)
No. 21 tahun 2017 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan yang berbunyi “Perusahaan
perkebunan yang memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan akan melakukan perubahan luas lahan
melalui perluasan atau pengurangan, harus mendapat persetujuan dari gubernur
atau bupati/walikota sesuai kewenangan”. Hal inilah yang kemudian ditakutkan
akan dimanfaatkan oleh oknum-oknum dalam pemerintahan untuk melakukan tidakan
korupsi.
Dalam hal perizinan pembukaan dan pengolahan lahan juga diatur
dalam PERMENTAN No. 05 tahun 2018 tentang Pembukaan dan atau Pengolahan Lahan
Perkebunan Tanpa Membakar, pada Bab II Pasal 4 Ayat 1 berisi bahwa “Perusahaan perkebunan
harus memiliki RKPPL (Rencana Kerja Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan) yang
disetujui oleh kepala dinas provinsi atau kabupaten/kota sesuai dengan
kewenangan sebelum melakukan pembukaan dan/atau pengolahan lahan perkebunan.”
Cara yang dilakukan tentunya kurang lebih ketika suatu perusahaan
meminta perizinan perluasan lahan, oknum-oknum pemerintah yang kurang kredibel
ini akan menerbitkan izin dengan syarat-syarat yang antara lain biaya untuk
meloloskan perijinan tersebut. Dari mudahnya penerbitan ijin tersebut,
dikhawatirkan pembukaan lahan untuk perkebunan semakin masif dan tentunya
pembukaan lahan ini akan mendorong semakin banyaknya karhutla karena biaya yang
minimalis.
Indikasi adanya oknum pemerintah yang melakukan penyalahan
wewenangnya perihal kehutanan ini diperkuat dengan adanya beberapa Kepala Daerah
yang tersandung kasus yang menyangkut kehutanan. Mantan gubernur Riau, Rusli
Zainal, terjerat kasus penyelewengan wewenang terkait Pengesahan Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) pada tahun 2004 untuk 10 perusahaan. Masih di
Riau, salah satu mantan gubernurnya pula yakni Anas Maamun divonis hukuman 6
tahun penjara dan denda 200 juta rupiah subsider 2 bulan kurungan dalam kasus
suap alih fungsi lahan kelapa sawit. Mantan bupati Siak Arwin A. S. juga
diputus 5 tahun penjara dan denda 200 juta rupiah dalam kasusnya menerima
IUPHHK-HT yang sebenarnya tidak layak untuk diloloskan.
Dari adanya kasus-kasus tersebut indikasi adanya penyelewengan
wewenang oleh pemerintah pada kejadian kebakaran hutan di Kalimantan dan
Sumatera baru-baru ini menguat. Apabila, indikasi adanya penyalahgunaan
wewenang mengeluarkan ijin ini benar adanya, oknum tersebut harus ditindak
sebagaimana perundang-undangan yang berlaku, karena telah merugikan banyak
pihak.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) telah mengatur
tentang sanksi hukum bagi pelaku pembakaran hutan di antaranya, UU No. 41 tahun
1999 Pasal 78 Ayat (3) diberlakukan sanksi pidana penjara 15 tahun dan denda
maksimal 15 miliar, selanjutnya pada UU No. 18 tahun 2004 Pasal 8 Ayat (1)
menyebutkan seseorang yang sengaja membuka lahan dengan cara dibakar dikenakan
sanksi minimal tiga tahun dan maksimal 10 tahun, serta denda maksimal Rp10
miliar, dan disebutkan juga dalam UU No. 32 tahun 2009 Pasal 108 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jo. Pasal 69 Ayat 1 H yakni
tentang larangan terhadap setiap orang dilarang melakukan pembukaan dengan
cara membakar.
Setelah meninjau kebakaran hutan dan lahan di Riau dengan menaiki
helikopter bersama Kepala BNPB dan Panglima TNI pada Minggu 15 September 2019,
Kapolri Jenderal Tito Karnavian dibuat heran karena ia tidak melihat lahan
sawit dan tanaman industri ikut terbakar. Kalaupun ada, hanya di pinggir.
"Ini menunjukkan adanya praktik 'land clearing' dengan cara mudah dan
murah memanfaatkan musim kemarau," ujar Tito terkait dugaan kuat kebakaran
akibat ulah manusia dalam siaran pers BNPB. Data terbaru pada 24 September 2019
pihak kepolisian menetapkan 323 perorangan dan 14 perusahaan dalam kasus
karhutla. Namun, baru 4 korporasi menjadi tersangka terkait kasus karhutla di
Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
Lain halnya dengan karhutla yang membuat langit Pekanbaru menguning akibat hal tersebut, warga sudah mulai mengungsi. Sedangkan Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengklaim telah menyegel 42 perusahaan
yang diduga menjadi otak di balik pembakaran hutan dan lahan. Lahan
perusahaan-perusahaan itu berlokasi di Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan
Barat dan Kalimantan Tengah. Di antara 42 perusahaan itu ada yang dimiliki
pemodal asal Singapura dan Malaysia. Dirjen Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho
Sani menyatakan akan mendorong pengenaan pasal berlapis ke pelaku pembakaran
hutan, terutama dari korporasi. Pasal-pasal itu tidak hanya terkait UU
Lingkungan, tetapi juga UU Kehutanan dan Perkebunan.
Dilansir dari Kompas.com, diungkapkan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Pusat Data Informasi dan Humas
BNPB Agus Wibowo di Gedung BNPB, Jakarta, Senin 23 September 2019, bahwa Sumatera
Selatan menjadi provinsi yang penduduknya paling banyak menderita Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA), yakni 291.807 orang. Peringkat kedua, Riau
dengan jumlah penderita ISPA sebanyak 275.793 orang, dan Jambi dengan jumlah
penderita ISPA 63.554 orang. Sementara
itu jumlah penderita ISPA di Kalimantan Barat mencapai 180.695 orang. Sedangkan
penderita ISPA di Kalimantan Selatan mencapai 67.293 orang. Adapun penderita
ISPA di Kalimantan Tengah berjumlah 40.374 orang. Adapun kabut asap yang
melanda Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan,
dan Kalimantan Barat saat ini akibat karhutla, terutama kebakaran lahan gambut.
Masyarakat pun terkena dampaknya, mulai dari pusing, sesak napas, iritasi mata,
atau muntah-muntah.
Dari peristiwa kahutla yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan
juga membuat hewan liar keluar hutan untuk menyelamatkan diri sekaligus mencari
makan. Banyak satwa yang dilindungi seperti
orangutan dan beruang masuk ke kebun warga. Hal ini juga menjadi keresahan
di tengah keadaan yang ada.
Terkait musibah ini, pemerintah perlu membentuk sebuah tim yang mengawasi penegakan hukum kasus karhutla di seluruh Indonesia, agar dapat berjalan dengan konsisten dan transparan dalam penegakan hukum di ranah perdata, pidana, dan administatif. (Bob, Dim, Fat, Yaz)
Terkait musibah ini, pemerintah perlu membentuk sebuah tim yang mengawasi penegakan hukum kasus karhutla di seluruh Indonesia, agar dapat berjalan dengan konsisten dan transparan dalam penegakan hukum di ranah perdata, pidana, dan administatif. (Bob, Dim, Fat, Yaz)
Penulis: Bob, Dimas,
Fatma, Tiyaz
Editor: Syafik
0 Komentar