Setiap orang mempunyai kegelisahan yang tak teramati.
Tapi diri selalu bergantung pada pedoman sejati.
Dimana? Kenapa ia tak nampak?
Eksistensi-Nya tak memiliki nilai bagi yang tak berpedoman.
Suara penyejuk kian parau.
Bersamaan dengan benak ini yang kian kacau.
Pertanda yang ia perlihatkan bak rima.
Yang selalu menyejukan mata.
Bagaimana? Sudahkah nampak?
Tidak kah semua pertanda yang terlihat oleh mata membuahkan kata?
Agung. Sekelebat mata diri memandang karya-Nya.
Tak pantas rasanya kata-kata keluar dari mulut busuk diri.
Apakah mereka ini buta? Semuanya nampak di mata.
Apakah mata mereka tak ingin atau tak bisa memancarkan cahaya?
Apa semua kejelasan itu tertutup oleh pemikiran manusiawi?
Mengapa mereka terus mendzalimi?
Apakah mereka makhluk kekal abadi?
Apakah mereka makhluk yang tak kenal mati?
"Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga."
Bukankah pepatah yang mengatakan hal itu?
Lalu tak sedikitpun timbul perasaan yang membersihkan hati mereka yang ternodai oleh nafsu duniawi?
Sebuah puisi ditulis oleh Yuliana Putri, mahasiswa prodi Hukum angkatan 2021.
0 Komentar