Penulis: Sufriadi
Editor: Elly
![]() |
Ilustrasi Orang Madura| Sumber: Pinterest |
Diantara banyaknya keberagaman tradisi dan budaya yang ada di Indonesia salah satunya adalah budaya yang erat kaitannya dengan pulau Madura: tradisi carok. Istilah carok ini sudah dikenal cukup luas di kalangan masyarakat Madura dan Jawa. Tradisi carok sendiri digambarkan sebagai suatu duel dua orang hingga salah satunya mati.
Hal yang melatarbelakangi adanya duel ini terjadi lantaran adanya upaya untuk mempertahankan kehormatan, seperti terjadinya perselingkuhan atau perebutan wanita, sengketa tanah atau hak waris dan dendam antar keluarga.
Dalam pribahasa Madura ada istilah-istilah yang di pegang teguh diantaranya seperti "ango'an pote tolang ketembeng pote matah" yang secara harfiah diartikan lebih baik mati daripada di permalukan, dalam istilah lain "Mon kerras pa kerres" yang artinya kalau keras berkerislah.
Dalam historiografi versi lokal Madura, istilah carok sering kali dikaitkan dengan nama Ken arok dari era kerajaan Singasari. Beberapa budayawan Madura pun menyebutkan bahwa asal-usul istilah carok bermuara dari peristiwa pembunuhan Tunggul Ametung oleh Ken Arok di Tumapel pada abad ke 13 M. Keberanian Ken Arok untuk membunuh Tunggul Ametung saat itu untuk merebut tahta dan istrinya menjadi simbol dari istilah carok itu sendiri, sehingga menjadi sebutan dari duel berdarah demi kehormatan, harta, atau wanita.
Secara akademik menurut penelitian Latief Wiyata dalam bukunya, "CAROK: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura", istilah carok sudah dikenal di lingkungan masyarakat Madura sejak abad ke-18, seiring dengan mulai terbentuknya komunitas-komunitas desa di Pulau Madura dan sekitarnya. Meskipun dalam catatan resmi tidak ada keterangan tentang kapan tepatnya istilah ini ditetapkan secara formal karena istilah ini berkembang melalui lisan masyarakat dari waktu ke waktu.
Pada zaman dahulu peristiwa carok harus memenuhi beberapa mekanisme tradisional, diantaranya:
1. Adanya tantangan terbuka dari pihak yang dirugikan
Tantangan tersebut bisa berupa ucapan atau isyarat simbolik. misalnya menempatkan celurit di depan rumah yang ditantang. Penentuan waktu dan tempat, atau yang lainnya biasa dilakukan di tempat yang telah disepakati bersama dengan dihadiri saksi dari masing-masing pihak.
2. Menggunakan senjata tradisional (celurit),
Celurit menjadi senjata wajib carok, meskipun terkadang ada yang membawa senjata tambahan selain celurit. Hal ini karena orang pada zaman dahulu masyarakat cenderung memiliki keyakinan memiliki ilmu kebal, sehingga membawa senjata selain celurit menjadi antisipasi ilmu kebal tersebut.
3. Dihadiri sesepuh kampung/kepala desa
Untuk menyelesaikan masalah, sesepuh kampung biasanya terlebih dahulu melakukan mediasi. Jika mediasi ini gagal dan tidak berhasil maka carok menjadi pilihan terakhir untuk menyelesaikan perselisihan dengan duel terbuka menggunakan senjata tradisional hinggai salah satu pihak meninggal. Inilah yang menjadi akhir dari konflik dan masalah. Orang yang menang berhak atas kehormatan yang dipertaruhkan.
Dalam negara hukum, tindakan carok dikategorikan sebagai bentuk tindak pidana kekerasan dan pembunuhan. Namun, dalam kacamata tradisi lokal hal ini tidak dapat semena-mena dijustifikasi sebagai tindakan kriminal tanpa memahami latarbelakang konteks sosial budaya itu terbentuk.
Dalam kajian antropologi hukum, carok sendiri adalah sebuah bentuk living law (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang berdampingan dengan hukum formal. Artinya tradisi carok ini tidak bisa dinilai sebagai tindakam kriminalitas belaka tanpa memahami posisi dan maknanya dalam sistem sosial masyarakat Madura yang menjunjung tinggi harga diri manusia. Kehormatan dianggap lebih berharga daripada nyawa itu sendiri.
Selain itu ada juga prasyarat yang harus terpenuhi pada tradisi carok sehingga tindakan tersebut dapat di kategorikan carok. hal ini menandakan bahwa carok bukan tindakan kriminal spontan atau pertarungan jalanan, melainkan duel penuh kehormatan yang memiliki legitimasi adat tertentu.
Dewasa ini dalam masyarakat dan di media sosial cenderung mengaitkan tindak Kekerasan dan pembunuhan yang terjadi di Madura dengan istilah carok. Kendati benar carok sendiri adalah tradisi yang berbau kekerasan dan pembunuhan, namun tradisi carok yang sesuai dengan kepercayaan tradisional harus memenuhi mekanisme dan syarat tertentu untuk bisa disebut sebagai tindakan carok.
Adapun kasus yang marak terjadi terkait tindak kekerasan atau pembunuhan di Madura tidaklah bisa disebut sebagai tradisi carok, melainkan lebih mengarah ke tindakan kriminal, sebab tindakan tersebut sering dilakukan diam-diam atau berkelompok dan biasanya dilakukan tanpa mediasi terlebih dahulu. Berbeda dengan carok sesungguhnya yang mempunyai mekanisme tertentu bukan sebatas memenuhi keegoisan dan rasa superioritas semata.
Bagaimana pun juga tradisi carok tidak sepenuhnya buruk juga tidak begitu relevan lagi dilakukan di zaman ini. Masyarakat memang tetap harus mempertahankan nilai-nilai yang telah diwariskan oleh leluhur, akan tetapi harus mengutamakan alternatif penyelesaian masalah dengan menghadirkan pihak ketiga (mediasi) untuk menyelesaikan masalah, serta menjaga kehormatan dan keberanian yang terkandung dalam tradisi carok. Dengan ini bentuk ekspresi nilai yang mengunakan kekerasan harus diabaikan.
Masyarakat Madura harus mulai mengubah pola pikir meraka bahwa mempertahankan kehormatan hari ini bisa melalui banyak cara. Tidak perlu mengunakan cara-cara kekerasan. Permasalahan apapun bisa selesai dengan mediasi, musyawarah, ataupun jalur hukum. Penting juga bagi masyarakat Madura memahami bahwa penyelesaian masalah mengunakan mediasi, musyawarah, ataupun hukum bukanlah aib atau tindakan seorang pengecut, justru tindakan itu yang sangat berkemanusiaan, terhormat, dan bermartabat.
Dan yang paling penting dewasa ini adalah mendidik generasi muda Madura menggunakan perspektif baru tentang carok. Generasi muda perlu diajak memahami carok sebagai pembelajaran tradisi nilai dengan melestarikan budaya cinta damai dengan mengekspresikan keberanian melalui prestasi, dan sikap tegas membela ketidakadilan yang ada di masyarakat.
0 Komentar