![]() |
Bad campus photography | Sumber: freepik.com |
Dulu saya pernah membayangkan betapa positifnya atmosfer kampus: suasana belajar yang nyaman, jauh dari persaingan tidak sehat. Para dosen yang bersahaja dan mudah ditemui. Mahasiswa yang santun, serta lingkungan yang tenang dan bersih. Tidak ada knalpot brong atau moge 250 cc dengan suara bising. Seolah gerbang kampus menjadi batas antara dunia riuh dan dunia intelektual yang damai.
Tapi semua itu kini layak dipertanyakan. Seorang teman saya, mahasiswa di UIN, mengaku terganggu oleh lingkungan kampus yang toksik. Dari ucapan kasar, ejekan “caper”, hingga kecemburuan sosial yang memecah belah pertemanan. Bukankah itu paradoksal? Kampus sebagai tempat belajar, justru menjadi sumber tekanan.
Toxic Society di Kampus, apa itu?
Toxic society adalah istilah dalam bahasa Inggris yang mengacu pada lingkungan sosial yang buruk—yang bisa merusak mental dan perkembangan diri para individu di dalamnya. Dalam konteks perguruan tinggi, ini muncul lewat komunikasi yang buruk, tekanan sosial, bahkan kekerasan verbal. Data dari Kemenko PMK (Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan) menunjukkan bahwa satu dari sepuluh pemuda usia 15-24 tahun mengalami gangguan mental emosional, dengan dua faktor utama berupa tekanan akademik dan perundungan. Gangguan mental ini meliputi kecemasan, depresi, dan stres yang sering kali dipicu oleh lingkungan yang tidak mendukung secara emosional dan sosial.
Penelitian yang dilakukan oleh American College Health Association (ACHA) pada 2020 juga memperlihatkan bahwa hampir 60% mahasiswa di Amerika Serikat melaporkan merasa cemas yang tinggi, dengan lebih dari 40% mengaku merasa tertekan secara emosional. Dalam konteks Indonesia, laporan dari Pusat Data dan Informasi Kesehatan Universitas Indonesia mengungkapkan bahwa 25% mahasiswa di beberapa perguruan tinggi Indonesia mengalami gangguan mental berupa kecemasan dan depresi, yang sebagian besar dipengaruhi oleh tekanan akademik, ketidakmampuan menyeimbangkan kehidupan sosial dan akademis, serta lingkungan sosial yang tidak kondusif.
Tekanan akademik adalah salah satu faktor utama yang sering kali dikaitkan dengan toxic society di kampus. Penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Educational Psychology (2018) menunjukkan bahwa mahasiswa yang merasa tertekan dengan tuntutan akademik sering kali mengalami gangguan psikologis, termasuk kecemasan dan burnout. Selain itu, budaya kompetitif yang sering diterapkan di kampus juga dapat menyebabkan mahasiswa merasa tidak pernah cukup baik, yang memperburuk kondisi mental mereka. Hal ini diperparah dengan kurangnya dukungan emosional yang memadai, seperti layanan konseling yang terbatas atau ketidaktahuan akan pentingnya kesehatan mental di kalangan mahasiswa dan dosen.
Di sisi lain, perundungan juga berperan besar dalam menciptakan toxic society di kampus. Menurut data dari National Bullying Prevention Center, sekitar 20% mahasiswa di AS pernah menjadi korban perundungan di kampus. Hal ini juga tercermin di Indonesia, di mana perundungan—baik verbal maupun fisik—masih sering terjadi di kalangan mahasiswa, meski tidak selalu terlihat di permukaan. Sebuah studi yang dilakukan oleh University Yale University pada 2019 menemukan bahwa perundungan di lingkungan kampus dapat menyebabkan penurunan kualitas akademik dan sosial mahasiswa, serta meningkatkan risiko gangguan mental yang lebih serius, seperti depresi klinis dan kecemasan berat.
Kasus, Gejala Umum, Hingga Titik Terparah
Rekan saya yang berkuliah di salah satu kampus swasta ternama di Surabaya, juga mengalami tekanan. Ia disebut “caper” hanya karena selalu datang tepat waktu, duduk di depan, dan aktif bertanya. Bagi sebagian besar teman di kelasnya, itu dianggap cari muka serta dianggap bukan sikap akademik. Selama setahun, ia merasa tidak memiliki ruang untuk belajar dengan nyaman, hingga akhirnya pindah ke kampus lain di Kota Malang.
Banyak teman-teman perempuan saya juga mendapatkan pelecehan secara verbal. Baik dilakukan oleh mahasiswa, maupun dosen itu sendiri. Topik-topik pembicaraan dengan teman lawan jenis mereka juga cenderung berbau seksual. Menyebabkan suasana belajar menjadi begitu mencekam bagi kaum perampuan.
Bagaimana dengan dosen karbitan? hal ini bahkan sudah semakin menjamur dan menjadi-jadi. Dosen bukan lagi peneliti tapi pencaci. Seseorang yang kita sebut terhormat itu hari ini lebih banyak tidak menghormati manusia lain. Parahnya, oknum-oknum dosen itu malah sibuk mendekati mahasiswi-mahasiswi jelita. Membuat mereka trauma dan rela memutar jalan demi tidak berpapasan dengan dosen tersebut di jalan atau lingkungan kampus.
Masih ingat dengan Kasus perundungan di kalangan mahasiswa kedokteran oleh senior mereka yang sempat viral? Padahal si dokter sudah lulus, sudah bekerja namun masih terjangkau oleh keadaan demikian. Lalu begitu juga di kampus swasta ternama yang ternyata menyimpan kisah serupa? Meskipun bentuk ekstremnya—seperti penganiayaan atau bunuh diri—masuk ranah kriminal, akar masalahnya tetap sama: hilangnya etika komunikasi dan rusaknya nilai saling menghormati. Ini nantinya akan berevolusi menjadi tindak laku yang buruk dalam bersosial, yang disebut pembullyan, dan dalam kasus terparahnya dapat menimbulkan korban jiwa.
Akar Masalah: Sistem yang Toksik Sejak Semula
Masalah ini tidak berdiri sendiri. Ia lahir dari akar struktural dan budaya pendidikan kita. Sejak SD hingga SMA, sistem belajar kita sangat kompetitif dan berorientasi pada angka. Nilai dan peringkat jadi ukuran tunggal keberhasilan. Di perguruan tinggi, warisan ini menjelma dalam bentuk IPK, akreditasi, sertifikat, dan prestise semu.
Alih-alih mendorong diskusi ilmiah atau kejujuran akademik, kampus justru melanggengkan budaya kompetisi tanpa empati. Beberapa dosen bahkan alergi terhadap kritik, tidak suka mahasiswa yang cerdas, dan lebih peduli pada pencitraan. Tak jarang pula kita dengar candaan bernada seksual di ruang kelas.
Yang lebih mengecewakan, banyak mahasiswa justru mengikuti arus ini. Mereka lebih tertarik menjadi “influencer kampus” demi portofolio, bukan pencari ilmu. Organisasi dan kepanitiaan jadi ajang panjat sosial, bukan ruang pembelajaran yang konstruktif dan positif.
Jika lingkungan kampus terus dibiarkan menjadi toksik seperti ini, kita akan kehilangan generasi intelektual sejati. Mahasiswa yang tulus dan berniat belajar akan tersingkir oleh mereka yang lihai membangun citra. Kita akan lebih sibuk mengurus akreditasi daripada merawat kejujuran akademik dan merajut moral keilmuan yang luhur.
Sudah saatnya kampus merefleksi diri. Perlu pengawasan serius terhadap iklim akademik, bukan hanya soal kurikulum atau angka. Tidak lulus bukan aib, IPK bukan takdir. Kampus harus belajar menghargai proses, bukan hanya hasil. Jangan sampai mereka yang disebut “mahasiswa” kehilangan makna “maha” itu sendiri.
0 Komentar