Maret

 

Sad Love | Sumber: freepik.com

Oleh: Nisa Iffatus Shofia

Maret, bunga, dan semi.

Di pinggiran Kota Tua, tepat mengarah pada barat, di mana surya singgah dan terlelap dalam gelap. Kini sabit yang bersinar samar tertutup awan, menjadi satu-satunya yang mampu dipandang. Tak ada bintang. Seperti hati yang tak lagi berpenghuni. Sunyi.

Pulang, rumah, Kyan. Kompleks.

Indahnya semi tak menggoda sedikit pun pada binarnya tuk memancar. Sorot itu masih redup. Bahkan nyaris mustahil untuk menjumpa pada kilau yang pernah singgah. Mia begitu tersesat, pada semu yang tak bisa di genggam. Rasanya sakit. Mia tak percaya, Kyan tak mampu menepati janji. Ia ingin semesta tahu, bahwa Kyan-nya mengingkari. Pelukan itu nyata. Tutur katanya yang sesejuk embun terasa seperti musim semi tak berujung. Harusnya begitu. Mia terlanjur jatuh. Tak ingin berbagi, pada Tuhan sekalipun.

Kota tua terukir indah dengan seluruh kisah mereka. Hanya berdua. Sekalipun tak sesuai angan, langkah apapun tetap akan ringan asal bersama Kyan. Tak ada yang perlu di sesalkan. Kyan dan Mia, begitu mencinta. Memupuk puncak kasih mereka setidaknya sampai hari kehancuran mengintip pada cela di setiap sisinya.

“Lihat, sabit itu seperti senyuman. Bahagia kita sampai tersalur ke langit ya, Mia?” Ah, malam itu.

Hari terus berlalu. Alunan kasih masih syahdu. Namun bukan jaminan bahagia terus menyertai mereka.

“Kyan, dunia tidak jahat kok. Hanya saja kita terlalu rentan. Kamu punya peluk ku untuk pulang.” Roda semesta tak memandang siapapun. Setidaknya mereka punya satu sama lain untuk bertahan.

“Kalau nanti aku jatuh, jangan keras kepala untuk memeluk ku, Mia.” Teringat jelas dalam memori, Kyan yang terkekeh namun menatap terlalu dalam. Saat itu, Mia tak mengerti setiap yang terucap. Ia tak pernah mengerti.

“Kenapa begitu?”

“Kamu terlalu indah. Biar aku saja yang kotor oleh tanah. Kamu harus tetap melangkah.” Senyum pada bibir ranum disertai rona merah yang menjalar pada kedua pipi Mia. Pesona Kyan dengan segala manis yang terucap. Mia tak mungkin melepas Kyan.

“Terima kasih, Kyan. Aku mencintaimu.” Bisik yang indah. Dan Kyan yang begitu bahagia.

Semi, indah, dengan pusat kesakitannya. Semu yang amat kelabu. Serakah, Mia tidak bisa. Bahkan denyut nadi saja Tuhan yang punya. Ia tak akan berontak dan menantang garis yang pencipta tulis. Tak janji pula untuk sanggup menahan tangis.

Mia menikmati langkahnya. Pelan sambil mengenang. Menatap sekitar, tempat-tempat yang dikunjungi bersama tak banyak berubah. Amigdala-nya seperti sinematik. Memutar bagian demi bagian yang dihiasi tawa bersama gandengan tangan mesra yang mereka buat saat itu. Tulus dan bahagia. Sebelum nasib merenggut salah satunya.

Saat sabana mulai menyapa netra, langkah Mia mulai memberat. Hati yang kacau itu ia genggam dengan erat. Bertekad mengunjungi rumah sang kasih untuk kesekian kali. Rumah baru Kyan. Rumah selamanya untuk Kyan.

Hari dimana Kyan mengucap rasa yang kini begitu sakit saat dikenang. Sesakit seperti hari yang seharusnya menjadi perayaan jalinan mereka namun berubah menjadi hembusan nafas terakhir yang tak pernah ada dalam skenario Mia. Ia masih ingin Kyan. Saat itu. Tapi kini, sesuai ucap, Mia tak akan serakah. Kyan bilang, Mia harus tetap melangkah. Meski sendiri, selamanya.

Indah bukan lagi kata yang dimiliki oleh Mia. Sebab indah milik Kyan dan Mia. Keduanya bukan salah satunya.

“Tidur yang nyeyak, Kyan. Peluk ku masih milik mu.”

0 Komentar