Menelusuri Jejak Kebebasan: Refleksi Hari Pers Sedunia

Ditulis Oleh: Alfian Muslim
Editor: Raka

Hari Kebebasan Pers Sedunia | Sumber: Freepik.com

Tiga puluh tiga tahun lalu, di sebuah kota kecil bernama Windhoek, Namibia, para jurnalis dan pemimpin media dari berbagai belahan dunia berkumpul untuk menyatakan sesuatu yang sederhana, tapi fundamental: bahwa pers harus bebas. Deklarasi Windhoek yang lahir pada 3 Mei 1991 bukan hanya dokumen bersejarah, tapi semacam pernyataan moral bahwa tak ada demokrasi yang bisa tumbuh tanpa kebebasan pers. Hari ini, deklarasi itu terus diperingati sebagai Hari Pers Sedunia—bukan hanya sebagai perayaan, tapi sebagai pengingat bahwa kebebasan, terutama dalam menyampaikan kebenaran, selalu layak diperjuangkan. 

Di tengah dunia yang makin riuh dan penuh distraksi digital, fungsi pers justru makin krusial. Ia bukan cuma soal menyampaikan informasi, tapi menjaga agar suara-suara yang paling rentan tidak tenggelam. Pers menjadi pelurus arah ketika realitas diputarbalikkan, menjadi jembatan antara rakyat dan kekuasaan yang kerap lupa siapa yang sebenarnya mereka wakili. 

Pers, Sejarah, dan Luka yang Belum Sembuh


Dalam sejarah Indonesia, pers bukan pemain pinggiran. Sejak masa penjajahan, media sudah terlibat langsung dalam perjuangan melawan penindasan. Surat kabar seperti Medan Prijaji milik Tirto Adhi Soerjo tidak hanya menulis berita, tapi membangkitkan kesadaran. Di tangan mereka, tulisan menjadi bentuk perlawanan. Gagasan John Milton dalam Areopagitica—bahwa menyampaikan pendapat adalah hak manusia yang paling dasar—seolah menemukan pantulan nyata di masa-masa itu.

Namun kita juga tidak bisa menutup mata pada fase kelam. Di era Orde Baru, pers dibungkam secara sistematis. Media harus tunduk pada aturan SIUPP, sensor menjadi makanan sehari-hari, dan kritik terhadap penguasa bisa berujung pembredelan. Tapi bahkan di tengah keterbatasan itu, masih ada media yang bersikukuh menjaga nyala. Tempo, Detik, Editor, semuanya pernah dibredel, tapi tidak pernah sungguh-sungguh padam. Mereka tetap menjadi ruang di mana suara yang tak tertampung bisa menemukan tempat.

Ketika Reformasi 1998 datang, banyak dari masyarakat—terutama generasi muda saat itu—percaya bahwa zaman sudah berubah. Sensor dicabut, kebebasan pers diatur dalam undang-undang. Tapi seperti kata Andreas Harsono dalam bukunya Teka-Teki Media dan Kebebasan Pers, tantangan baru segera muncul. Kali ini bukan dari militer atau pemerintah, tapi dari pemilik modal, konglomerasi media, dan kepentingan politik yang bermain di belakang layar redaksi. Kita akhirnya sadar, bahwa meski bentuknya berubah, ancaman terhadap independensi tetap ada.

Kekerasan yang Masih Menghantui dan Tanggung Jawab di Era Baru


Hari ini, menjadi jurnalis tetap bukan pekerjaan yang aman. Laporan tahunan Reporters Without Borders terus menunjukkan bahwa Indonesia masih belum ramah terhadap jurnalis. Intimidasi, kekerasan, hingga pembunuhan masih menghantui.  Kita belum lupa kasus pembunuhan Udin di Yogyakarta tahun 1996. Ia dibunuh karena mengungkap korupsi, dan hingga kini, keadilan untuknya belum benar-benar datang. Itu bukan satu-satunya cerita. Di banyak daerah, jurnalis yang mencoba mengungkap konflik agraria, korupsi lokal, atau pelanggaran HAM masih sering mendapat ancaman.

Kekerasan itu tidak selalu berbentuk fisik. Hari ini, banyak jurnalis terutama perempuan, menghadapi serangan digital, doxing, pelecehan, dan teror maya hanya karena laporan mereka mengganggu status quo. Naomi Klein dalam The Shock Doctrine pernah menulis bahwa kekerasan terhadap pers seringkali menjadi bagian dari strategi untuk menciptakan ketakutan massal. Diam jadi norma. Kritis jadi bahaya. Ketika ini terjadi, bukan hanya jurnalis yang terancam, tapi kita semua.

Di saat bersamaan, era digital membawa tantangan baru. Hoaks menyebar lebih cepat dari klarifikasi. Disinformasi dipoles rapi, menyamar sebagai kebenaran. Di tengah situasi ini, pers tidak cukup hanya menjadi netral. Ia harus berpihak—pada kebenaran. Di sinilah peran jurnalis menjadi sangat berat. Mereka bukan hanya menyampaikan fakta, tapi juga menafsirkan, menyaring, dan mengingatkan publik akan apa yang penting. 

Michael Schudson dalam The Sociology of News menyebut bahwa pers yang sehat memperkuat demokrasi. Tapi demokrasi itu juga rapuh kalau jurnalis kehilangan keberanian untuk bersikap. Jurgen Habermas bahkan percaya bahwa ruang publik hanya akan sehat jika ada kebebasan berbicara yang dijamin dan dilindungi. Pers adalah penjaga ruang itu. 

Jangan Biarkan Nyala Itu Padam


Hari Pers Sedunia mestinya bukan hanya soal ucapan selamat, webinar, atau unggahan di media sosial. Ini adalah momen untuk bertanya — apakah kita masih menjaga kebebasan itu? Apakah kita masih bisa percaya pada media sebagai pilar keempat demokrasi?

Andreas Harsono pernah bilang, “Kebebasan pers bukanlah pemberian. Ia adalah hasil dari perjuangan.” Dan perjuangan itu tidak pernah selesai. Ia harus terus dirawat, dijaga, dan dipertahankan. Hari ini, mungkin yang bertarung adalah jurnalis. Tapi esok, bisa jadi giliran kita yang kehilangan suara kalau pers tak lagi bebas. 

Sebagai mahasiswa, sebagai bagian dari generasi yang katanya melek informasi, kita punya tanggung jawab. Bukan hanya untuk mengonsumsi berita, tapi juga untuk kritis, memilih media yang benar, mendukung suara-suara yang berani, dan tak diam ketika pers dibungkam. Karena tanpa pers yang merdeka, kita akan kehilangan salah satu cahaya terakhir di tengah pekatnya kekuasaan yang tak tersentuh.

0 Komentar