QRIS: Benarkah Menjadi Proyek Negara yang Berbahaya Bagi Amerika?

Ditulis Oleh: Rasika Santoso

Editor: Alfian Muslim


Quick Response CodeSumber: Freepik. com

Beberapa tahun belakangan, kita makin sering dengar istilah QRIS. Di warung kopi, minimarket, warung madura, bahkan pedagang keliling pun sekarang udah mulai terima pembayaran pakai QRIS. Sistem pembayaran yang diluncurkan oleh Bank Indonesia ini memang bikin hidup jadi lebih praktis—tinggal scan, bayar, dan selesai tanpa perlu bawa uang tunai.

Tapi belakangan ini muncul wacana menarik, bahkan cukup kontroversial. Katanya, QRIS bisa jadi proyek negara yang berbahaya bagi Amerika Serikat. Hah? Masa iya cuma karena kita bisa bayar pakai QR code, Amerika jadi merasa terancam? Mungkin terdengar berlebihan.

Tapi kalau kita telusuri lebih jauh, ada dimensi geopolitik dan ekonomi yang membuat pertanyaan ini cukup relevan untuk dibahas. QRIS ternyata bukan sekadar urusan belanja cepat di tukang bakso. Ada konteks kemandirian digital dan potensi perubahan tatanan global di baliknya.

QRIS: Bukan Sekadar Bayar Pakai QR Code

QRIS adalah singkatan dari Quick Response Code Indonesian Standard. Sistem ini diluncurkan oleh Bank Indonesia sejak 2019, dengan misi menyatukan berbagai layanan pembayaran digital di Indonesia. Sebelumnya, ekosistem pembayaran kita tidak menyatu: masing-masing platform punya sistem sendiri, dari OVO, DANA, GoPay, hingga m-banking. Dengan QRIS, semua bisa saling terhubung.

Langkah ini bukan cuma menyederhanakan transaksi, tapi juga memperkuat fondasi ekonomi digital nasional. Karena dengan sistem pembayaran sendiri, Indonesia tidak lagi sepenuhnya bergantung pada sistem keuangan asing seperti Visa dan Mastercard. Ini memberi ruang kedaulatan lebih besar terhadap arsitektur ekonomi dalam negeri.

Hingga kuartal pertama 2025, menurut data Bank Indonesia, jumlah pengguna QRIS telah mencapai 56,3 juta, dengan volume transaksi sebanyak 2,6 miliar dan jumlah merchant mencapai 38,1 juta, mayoritas adalah UMKM. Ini mencerminkan penetrasi yang sangat cepat, bahkan menyentuh pelaku usaha ultra-mikro di pasar tradisional dan pedagang kaki lima. Artinya, QRIS bukan hanya teknologi, tapi alat transformasi ekonomi akar rumput. (BI.go.id).

QRIS Menjadi Alat Pembayaran Regional, Tak Lagi Sekadar Domestik

Dari awalnya hanya untuk transaksi domestik, QRIS kini berkembang menjadi alat pembayaran lintas negara. Indonesia telah menjalin kerja sama pembayaran berbasis QR code dengan beberapa negara ASEAN seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura. Wisatawan Indonesia bisa berbelanja di luar negeri hanya dengan memindai QRIS dari dompet digital lokal mereka.

Kita tidak lagi harus menukar rupiah ke dolar atau mata uang asing lainnya hanya untuk membeli makanan di warung lokal Bangkok atau naik taksi di Kuala Lumpur. Proses ini mempercepat integrasi ekonomi regional dan memperluas kenyamanan konsumen. Bahkan, Bank Indonesia saat ini sedang menjajaki ekspansi ke Jepang, Tiongkok, hingga Korea Selatan.

Mulai 17 Agustus 2025, QRIS akan resmi bisa digunakan di Jepang dan China. Bank Indonesia menyatakan uji coba sistem dengan otoritas Jepang telah selesai dilakukan, dan peluncuran resminya menandai babak baru penggunaan QRIS sebagai alat pembayaran luar negeri yang sah. (Kompas, 2025)

Mengapa Amerika waspada terhadap QRIS?

Selama ini, sistem keuangan global memang banyak dikendalikan oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Dominasi dolar AS sebagai mata uang perdagangan utama, ditambah kontrol atas sistem seperti SWIFT, Visa, dan Mastercard, membuat negara lain sangat tergantung pada infrastruktur keuangan Barat. Ini bukan hanya bisnis, tapi juga alat politik.

Beberapa minggu terakhir, dunia maya di Indonesia diramaikan oleh kritik yang cukup tajam dari Amerika Serikat terhadap QRIS dan sistem Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) milik Bank Indonesia. Kritik ini bukan datang dari netizen nyinyir atau oposisi dalam negeri, melainkan dari Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) yang secara resmi memasukkan QRIS dalam daftar hambatan perdagangan digital global dalam laporan National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers (NTE) tahun 2025. (Kompasiana, 2025).

Dari perspektif ini, tidak aneh jika Amerika mulai waspada. QRIS mungkin belum jadi ancaman besar, tapi bisa menjadi contoh sistem lokal yang tumbuh mandiri. Jika negara lain mengikuti langkah serupa, potensi terbentuknya jaringan pembayaran global alternatif tanpa campur tangan Barat bukan lagi imajinasi—ia bisa menjadi realitas baru yang mengguncang tatanan lama.

QRIS Bahaya Buat Amerika?

QRIS sebenarnya tidak bisa dibilang sebagai ancaman serius buat Amerika. Sistem ini dibuat untuk memudahkan transaksi di dalam negeri, biar pembayaran jadi lebih cepat, murah, dan inklusif—terutama buat UMKM. Meskipun penggunaannya terus meningkat (data BI menyebutkan ada 2,6 miliar transaksi QRIS pada kuartal I 2025), tapi skalanya masih jauh dibanding sistem global kayak Visa, Mastercard, atau SWIFT. Jadi, kalau ditanya apakah Amerika langsung rugi gara-gara QRIS? Jawabannya: belum tentu, bahkan mungkin belum terasa sama sekali.

Tapi, kalau dilihat dari sisi jangka panjang dan posisi Amerika di dunia, QRIS bisa bikin mereka mulai waspada. Kenapa? Karena QRIS jadi contoh bahwa negara berkembang juga bisa bikin sistem sendiri tanpa harus bergantung ke Barat. Apalagi QRIS sekarang sudah bisa dipakai di beberapa negara ASEAN, dan sedang dijajaki kerja sama dengan Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan. 

Kalau tren ini terus berkembang dan makin banyak negara punya sistem sejenis, maka peran dolar AS dan layanan keuangan buatan Amerika bisa perlahan-lahan berkurang. Itu yang bikin mereka mulai merasa “terancam”—bukan karena QRIS berbahaya, tapi karena dunia mulai punya alternatif.

Jadi, apakah QRIS benar-benar bahaya buat Amerika? Jawabannya: bukan bahaya dalam arti langsung menyerang, tapi bisa mengurangi dominasi mereka. QRIS adalah bentuk kemandirian Indonesia di bidang keuangan digital. Bukan untuk menjatuhkan siapa-siapa, tapi untuk berdiri di atas kaki sendiri. Dan kalau negara lain ikut langkah ini, bukan berarti melawan Amerika, tapi ingin lebih seimbang dan mandiri. Buat Indonesia, QRIS adalah solusi. Buat Amerika, mungkin ini jadi sinyal bahwa dunia sedang berubah—dan mereka harus siap dengan tatanan baru yang lebih adil.

0 Komentar