Menegakkan Keadilan dari Istana: Jejak dan Relevansi Peradilan Mazālim dalam Dunia Modern

Penulis: Alfian Muslim

Editor: Raka

Sumber: Freepik. com

Dalam sejarah panjang peradaban Islam, keadilan tidak hanya menjadi nilai moral, melainkan fondasi bagi keberlangsungan kekuasaan. Di antara lembaga yang lahir dari semangat menegakkan keadilan itu, ada satu yang begitu khas dan menarik: Peradilan Mazālim (نَظَرُ المَظَالِم) — pengadilan yang lahir bukan untuk rakyat melawan rakyat, tetapi rakyat melawan penguasa.

Lembaga ini menjadi simbol keterbukaan hukum Islam dalam mengawasi kekuasaan negara. Di dalamnya, khalifah atau pejabat tinggi negara duduk sebagai hakim untuk mendengarkan langsung keluhan rakyat terhadap aparat pemerintah yang zalim.

Jika ditilik dari sudut pandang tata negara modern, peradilan mazālim dapat dianggap sebagai cikal bakal lembaga ombudsman atau pengadilan administrasi — sebuah sistem pengawasan agar kekuasaan tidak berubah menjadi tirani.

Namun bagaimana lembaga ini lahir, bagaimana mekanismenya bekerja, dan adakah relevansinya bagi dunia modern?

1. Mengurai Makna: Apa Itu Peradilan Mazālim?

Kata mazālim berasal dari bahasa Arab ẓalama yang berarti “berbuat aniaya.” Bentuk jamaknya, mazālim, berarti “tindakan-tindakan zalim.” Dalam sejarah pemerintahan Islam, istilah ini kemudian berkembang menjadi nama bagi lembaga pengadilan yang menangani pengaduan terhadap kezaliman pejabat negara.

Peradilan mazālim berfungsi mengembalikan hak rakyat yang dirampas atau terzalimi oleh kekuasaan. Bila pengadilan biasa (qadhā’) berfokus pada sengketa perdata atau pidana antarindividu, maka mazālim adalah forum pengawasan terhadap kekuasaan.

Menurut Imam al-Māwardī dalam al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah, lembaga ini memiliki tugas “menarik dua pihak yang berselisih agar berbuat adil melalui kewibawaan penguasa, dan menahan dua orang yang saling menolak hak melalui keagungan negara.” Dengan kata lain, mazālim menggabungkan otoritas hukum (qadhā’) dan kekuatan politik (sulṭān).

Lembaga ini menegaskan bahwa dalam pandangan Islam, keadilan tidak hanya urusan hukum, tapi juga tanggung jawab politik. Karena itu, khalifah sendiri sering memimpin sidang mazālim untuk memastikan bahwa tidak ada pejabat yang menggunakan kekuasaannya untuk menindas rakyat.

2. Dari Nabi Hingga Abbasiyah: Jejak Sejarah Peradilan Mazālim

Mula dari Rasulullah ﷺ

Jejak pertama lembaga ini bisa ditemukan pada masa Rasulullah ﷺ. Dalam peristiwa sengketa air antara sahabat Zubair bin al-‘Awām dan seorang lelaki dari kaum Anshar, Nabi memutuskan perkara dengan adil: Zubair mendapat giliran pertama menyiram tanahnya, baru setelah itu tetangganya. Ketika si Anshar menuduh Nabi berpihak pada kerabatnya, Rasulullah menegaskan keputusan yang lebih tegas — bukan karena marah, melainkan untuk mendidik agar tidak menuduh pemimpin bertindak tidak adil.

Peristiwa ini menjadi salah satu landasan konsep nazhar fi al-mazālim — pengawasan langsung dari pemimpin tertinggi terhadap pengaduan rakyat.

Masa Khulafā’ Ar-Rāsyidīn

Para khalifah sepeninggal Nabi melanjutkan tradisi ini. Abu Bakar ash-Shiddiq dikenal sederhana dan sering menerima langsung aduan masyarakat. Umar bin Khattab bahkan lebih proaktif: ia mengutus pengawas keliling, memeriksa pegawai, dan menegur siapa pun yang menindas rakyat.

Dalam berbagai riwayat, Umar pernah memecat gubernur hanya karena laporan seorang warga. Bagi Umar, kekuasaan hanyalah amanah, bukan hak istimewa. Dalam diri beliau, mazālim menemukan bentuk paling murni — keadilan yang berani menyentuh kekuasaan.

Masa Umayyah: Mazālim Menjadi Lembaga Negara

Pada masa Dinasti Umayyah, lembaga ini mulai diformalisasi. Khalifah Abdul Malik bin Marwan adalah orang pertama yang menetapkan hari khusus untuk mengadili perkara mazālim. Ia duduk di istana, mendengarkan keluhan, dan memerintahkan hakim atau pejabat hukum untuk menindaklanjuti.

Dalam catatan sejarawan seperti al-Māwardī, pengadilan mazālim ini diadakan dengan penuh wibawa — bukan di pasar atau masjid, melainkan di istana, agar rakyat merasa benar-benar sedang berhadapan langsung dengan negara.

Masa Abbasiyah: Puncak Kelembagaan

Peradilan mazālim mencapai puncaknya pada era Abbasiyah. Khalifah al-Mahdi, al-Hadi, Harun ar-Rasyid, dan al-Ma’mun bahkan memiliki hari resmi untuk mazālim. Mereka didampingi oleh Qādhi al-Mazālim (hakim mazālim) yang membantu memeriksa bukti, memanggil saksi, dan menulis keputusan.

Lembaga ini memiliki struktur administrasi sendiri: sekretariat, catatan kasus, dan aparat keamanan untuk menegakkan keputusan. Dalam beberapa hal, keputusan pengadilan mazālim bahkan dapat membatalkan keputusan pengadilan biasa, sebab ia didukung langsung oleh kekuasaan khalifah.

Meski demikian, seiring berjalannya waktu, politik kekuasaan membuat lembaga ini tidak selalu bersih. Beberapa khalifah menggunakan mazālim sebagai sarana menyingkirkan lawan politik atau memperkuat legitimasi kekuasaan. Meski begitu, gagasan dasarnya — keadilan di atas kekuasaan — tetap bertahan dalam kesadaran hukum umat Islam.

3. Mazālim di Era Modern: Dari Istana Khalifah ke Meja Ombudsman

Keadilan yang Hidup dalam Sistem Baru

Di masa kini, meski khalifah sudah tiada, semangat mazālim tidak ikut lenyap. Banyak negara Muslim modern meniru prinsip-prinsipnya dalam bentuk lembaga baru seperti ombudsman, komisi yudisial, atau pengadilan tata usaha negara.

Tujuan utamanya sama: melindungi warga dari penyalahgunaan kekuasaan. Di Indonesia, fungsi seperti ini dijalankan oleh Ombudsman Republik Indonesia, yang menerima laporan masyarakat atas mal administrasi pemerintah.

Seperti halnya mazālim, lembaga ini tidak hanya menyelesaikan sengketa, tapi juga menegakkan keadilan moral dan sosial.

Tiga Nilai Utama Mazālim yang Masih Relevan

1. Kekuasaan di Bawah Hukum

Mazālim menegaskan bahwa tidak ada pejabat yang kebal. Dalam konteks modern, prinsip ini diterjemahkan menjadi rule of law — semua setara di hadapan hukum, termasuk pemerintah. 

2. Akses Keadilan untuk Rakyat Kecil

Dalam mazālim, siapa pun boleh mengadu langsung ke khalifah tanpa biaya dan tanpa perantara. Prinsip ini kini diwujudkan dalam sistem bantuan hukum cuma-cuma dan pengaduan publik terbuka.

3. Pengawasan yang Humanis dan Proaktif

Mazālim tidak menunggu laporan formal. Penguasa dapat turun tangan jika melihat ketidakadilan. Dalam sistem modern, semangat ini bisa diterapkan pada lembaga pengawas independen yang aktif melakukan investigasi tanpa menunggu perintah politik.

4. Menata Mazālim di Dunia Modern

Membangun kembali semangat mazālim dalam konteks negara hukum modern bukan berarti mengembalikan bentuk lamanya, tetapi menanamkan etosnya: kekuasaan yang siap diawasi dan keadilan yang berpihak kepada rakyat.

Para pemikir hukum Islam kontemporer, seperti Mahfuz Assiddiq dan St. Halimang, mengusulkan model “mazālim modern” — lembaga negara yang:i ndependen dari cabang eksekutif dan yudikatif, berwenang menyelidiki tindakan sewenang-wenang pejabat, mampu merekomendasikan sanksi administratif, dan bekerja transparan di bawah pengawasan publik. Dengan cara itu, semangat peradilan mazālim tetap hidup, meskipun dalam bentuk yang lebih sesuai dengan struktur hukum kontemporer.

Penutup: Mazālim, Cermin Keadilan yang Tak Pernah Padam

Sejarah panjang peradilan mazālim menunjukkan bahwa dalam Islam, kekuasaan tidak boleh dibiarkan tanpa pengawasan. Mazālim adalah bukti bahwa keadilan bukan milik rakyat saja, tetapi juga tanggung jawab penguasa.

Dari Rasulullah ﷺ hingga khalifah Abbasiyah, mazālim telah menjadi sarana rakyat untuk menggugat kekuasaan, dan menjadi peringatan bagi para pemimpin bahwa legitimasi sejati hanya lahir dari keadilan.

Kini, di tengah krisis kepercayaan terhadap institusi hukum di banyak negara, semangat mazālim terasa semakin relevan: keadilan harus berani menatap kekuasaan — bukan tunduk di bawahnya.

Sebagaimana kata Umar bin Khattab, “Seandainya seekor keledai tersandung di Irak, aku takut Allah akan menanyakan mengapa aku tidak meratakan jalan untuknya.” Itulah jiwa mazālim: keadilan yang tidak menunggu, tetapi mencari.

Daftar Pustaka

Al-Māwardī, Abū al-Ḥasan ‘Alī ibn Muḥammad. al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah. Kairo: Dār al-Ḥadīth, tanpa tahun. 376 halaman.

Assiddiq, Mahfuz; Halimang, St.; Asni. “Mahkamah Mazālim dan Relevansinya terhadap Lembaga Ombudsman Modern: Tinjauan Historis Komparatif.” Jurnal Keilmuan dan Keislaman, Vol. 4, No. 3 (2022). Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Hurvitz, Nimrod. “The Contribution of Early Islamic Rulers to Adjudication and Legislation: The Case of the Mazālim Tribunals.” Dalam Law and Empire: Ideas, Practices, Actors, Brill, 2013.

The Investigation of Grievances (Al-Nazar fi Al-Mazālim): Its Rise, Development, and Jurisdiction. UAEU Law Journal, Vol. 1994, No. 8.

“Mazālim.” Ensiklopedia Islam Online. (https://ensiklopediaislam.id/mazalim)

“Mazālim Courts.” IslamReference.com. (https://islamreference.com/definitions/m/mazalim-courts)

“Mazālim dalam Perspektif Hukum Islam dan Relevansinya di Era Modern.” Jurnal Ilmiah Universitas Islam Indonesia, 2021.

0 Komentar