Pendidikan yang Memanusiakan, Refleksi Hardiknas

(Penulis Opini adalah Mahasiswa Hukum Tata Negara UINSA) 


Pendidikan merupakan tempat individual/kelompok ditempa malalui upaya pengajaran dan pelatihan. Kaum terdidik diidentikkan dengan orang yang mengenyam pendidikan di sekolah/kampus dan sejenisnya, namun  banyak juga orang yang tidak pernah merasakan bangku sekolah tapi tindakannya pun sama dengan orang yang bersekolah. Jika mengaca pada Pernyataan KI Hajar Dewantara tokoh pendidikan Indonesia, "jadikan setiap tempat itu sekolah dan jadikan setiap orang itu guru".

Pendidikan secara universal sudah lama dibahas di zaman filsafat postmodern oleh Paulo Friere di Brazil. Beliau menjelaskan dengan gamblang tentang metode pendidikan  yang kurang manusiawi, dalam Buku Padagogy of the Oppressed (Pendidikan Kaum Tertindas). Paulo Friere sudah berkomunikasi dan bergaul dengan akrab dengan kaum yang tertindas oleh pemerintahan, sebab mereka bukan tidak terdidik namun mereka terdidik sebagai mental pekerja. Mental pekerja artinya dalam metode pembelajaran di Brazil saat itu mahasiswa/siswa hanya bergelut dalam pencapain hasil akhir dengan angka-angka. Sehingga, pencapaian berupa angka ini melupakan tujuan kaum berpendidikan yakni memanusiakan manusia. Jika sistem itu tetap di laksanakan. maka hanya akan melanggengkan Status Quo sistem pendidikan yang memproduksi kaum penindas. Paulo Friere menyatakan bahwa kaum tertindas yang memperoleh pendidikan jangan sampai berubah menjadi penindas. Jika sistem pembentuk mental pekerja itu terus di budayakan maka, akan terjadi siklus penindasan yang tiada hentinya.
Wajah Pendidikan Di Indonesia.

Sudah 75 tahun Indonesia merdeka, namun opini publik masih berkutat dengan pemahaman bahwa kuliah/sekolah tujuannya ialah untuk mencari kerja. Mayoritas masyarakat menganggap bahwa kuliah sebagai formalitas untuk mencari pekerjaan semata. Dewasa kini, kebanyakan mahasiswa membuang banyak ilmu pengetahuan yang sebenarnya bisa didapatkan di universitasnya. Mahasiswa banyak yang lebih memilih untuk bermain di kos atau di rumahnya dibanding menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dengan membaca buku ataupun berkumpul dengan komunitas yang mengasah keterampilan. Wajah pendidikan di Indonesia saat ini tidak jauh berbeda dengan kasus di Brazil pada masa Paulo Friere yang hanya membentuk kaum pekerja, mindset seperti itu masih menyelimuti pemahaman mayoritas masyarakat di Indonesia. Mental pekerja kian mengecambah dalam pendidikan di negeri ini. Pemikiran yang materialistik menyebabkan calon-calon kaum penindas kian bertambah, dididik dan dicetak oleh sistem konservatif. Bukti konkret pola fikir seperti ini ialah masyarakat yang mengukur berhasil atau tidaknya sebuah pendidikan berdasarkan pekerjaan yang didapat apakah sesuai jurusan yang diambil.

Marak di negeri ini orang berpendidikan namun tidak mencerminkan kaum terdidik, artinya tujuan pendidikan belum terealisasikan sepenuhnya. Tan Malaka mengatakan tujuan pendidikan itu mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan dan memperhalus perasaan. Problema dalam pendidikan bukan hanya mental pekerja yang di sampaikan oleh Paule Friere, tetapi lebih kompleks digagas oleh Tan Malaka.

Reflekasi Hardiknas 2020

Refleksi Hardiknas (Hari Pendidikan Nasional) tahun ini memang berbeda dengan tahun sebelumnya, karena adanya pandemi covid-19 yang mempengaruhi sistem pendidikan. Keadaan yang mengharuskan masyarakat melakukan pembatasan fisik, sehingga metode pembelajaran saat ini dilakukan dengan sistem dalam jaringan (Daring), meskipun sebenarnya Indonesia masih belum siap dalam menghadapi hal ini karena sarana dan prasarana yang masih minim. Hardiknas tahun ini, sudah selayaknya menjadi evaluasi bahwa masih banyak sistem pendidikan yang perlu dibenahi.

Berdasarkan data yang disadur dari Sindonews (26/02), masih banyak problematika dalam pendidikan kian mengangkang. Terkuaknya kasus 77 siswa SMP Seminari Bunda Segala Bangsa Maumere, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang menjadi korban dari kakak kelas yang menyuruh juniornya memakan kotoran manusia, pada hari Rabu (19/2). Ini merupakan contoh kecil, masih ada banyak sekali penganiayaaan, penghardikan, pengecaman sampai pada pembunuhan yang di lakukan. Sehingga, Hardiknas seharusnya bukan hanya sekedar seremonial saja tetapi juga refleksi tentang problema pendidikan yang tak kunjung usai, yang sejatinya mencetak kaum pelajar yang tertididik dalam fikiran dan juga tindakan.(Ody) 

Penulis : Ody
Editor: Dimas

0 Komentar