PERAN 'NIAT' DALAM KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DARING




Oleh Aulia Avan Rachman, Mahasiswa Hukum Keluarga



Pada kondisi pandemi covid-19 saat ini, sudah waktunya bagi mahasiswa untuk merubah mindset dalam hal belajar. Yang dimaksud merubah mindset ialah pola pikir produktif dalam hal belajar, mengingat pada saat ini produktifitas belajar sangat dibutuhkan. Contohnya dengan telaten membaca, rajin mengikuti KBM (kegiatan belajar mengajar) online, berdiskusi online, dll. Sebab di hari-hari mendatang yang dihadapi mahasiswa bukanlah bertemu dengan dosen ataupun teman dalam bentuk fisik, namun bertemu lawan bicara dalam bentuk gadget; yang berfungsi sebagai media penghubung jarak jauh antar orang dengan orang.

Pendapat saya sebagai penulis, untuk mencapai produktifitas yang dibutuhkan terlebih dahulu haruslah menata niat. Karena selain niat sebagai pondasi dalam beribadah, niat juga berfungsi sebagai alat untuk menolak paham kegabutan. Tanpa niat belajar tidak giat dan tanpa niat gabut menjerat, itu merupakan kaidah ringkas yang sengaja penulis buat.

Saya memiliki sedikit solusi untuk mengokohkan niat mahasiswa dalam belajar daring. Yakni dengan merenungkan hadis innamal a'maalu binniyat wa innama likullim ri'in ma nawa. Karena prinsip dalam hadis tersebut bukanlah prinsip kaleng-kaleng, tetapi punya legitimasi tersendiri. Prinsip itu akan mengokohkan seseorang dalam melakoni segala kegiatannya. Saya yakin mahasiswa akan betah dalam meratap dan memandangi gadget berjam-jam, jika dia mantap dengan niatnya dalam menimba ilmu. Meskipun nantinya timbul sedikit rebahan, koproll, split dan kip.

Namun kenyataannya, dalam praktek kajian online atau webinar online yang saya alami kemarin, hal tersebut rentan mengundang omelan orang tua. Bagaimana tidak? seharian saya hanya sibuk memandang handphone tanpa henti. Tetapi santai saja, dalam hal ini saya memiliki sedikit trik untuk meredam emosi orangtua. Yakni, dengan menjelaskan secara halus dan detail mengenai proses pembelajaran daring dari kampus. Mulai dari penjelasan mashlahat, manfaat, serta kefektifan program ini di musim pandemi.

Tentunya ini bukan suatu prinsip yang mutlak yang tidak bisa diganggu gugat layaknya keputusan dewan juri. Karena bisa saja di suatu saat nanti, tiba-tiba ada keadaan yang maslahatnya jauh lebih besar dan lebih penting untuk dilakukan, sehingga proses pembelajaran daring bisa kita pending atau kita kalahkan keutamaannya. Sebagai contoh adalah apa yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa di suatu daerah terpencil di Indonesia yang mati-matian mengikuti kegiatan belajar-mengajar (KBM) sistem daring dengan berbagai kendala; mulai dari terkendala susah sinyal, sibuk dengan kerjaan orangtua sebab posisinya menjadi tulang punggung keluarga, dan lain-lain.

Hal tersebut merupakan kewajiban yang kewajibannya memang tidak bisa ditinggalkan. Seperti yang kita tahu, ada kaidah yang menyebutkan :

الْÙˆَاجِبُ Ù„َايُتْرَÙƒُ الَّا Ù„ِÙˆَاجِبٍ

Perkara wajib tidak bisa ditinggalkan kewajibannya kecuali karena perkara wajib yang lainnya. Kuliah daring wajib diikuti, namun kerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga atau kewajiban meninggalkan paketan lemot itu juga wajib, sebab jika sudah tahu paketan lemot tapi tetap diteruskan, saya kuatir nanti akan terjerumus ke jurang kesia-sia an dan ketidak pahaman.

Jika memang terjadi seperti itu, maka produktifitas mahasiswa berperan disini; membaca sendiri dan berdiskusi dengan teman sekelas via Whatsapp. Dengan produktifitas semacam ini, mahasiswa akan masuk dalam dawuh :

Ù…َÙ†ْ Ø£َØ´ْرقَتْ بِدَايَتُÙ‡ُ Ø£َØ´ْرَÙ‚َتْ Ù†ِÙ‡َايَتُÙ‡ُ

Barangsiapa permulaannya baik, maka akhirnya juga baik. (dawuh Syekh Ibnu Atho'illah dalam Kitab Al Hikam). 

0 Komentar