Penulis: Alfian Muslim
Editor: Adit
![]() |
Trans7 dan Tradisi di Pesantren | Sumber: mui.or.id |
Belakangan, tayangan Trans7 yang menyoroti tradisi pesantren memicu perdebatan hangat di media sosial. Sebagian publik menilai program itu berhasil membuka “tabir” budaya pesantren yang selama ini dianggap tertutup. Namun, tak sedikit pula yang menilai konten tersebut berlebihan—bahkan menyinggung—karena menyamakan budaya pesantren dengan sistem feodalisme atau perbudakan budaya.
Sebagai seseorang yang pernah mengenyam pendidikan pesantren selama enam tahun sekaligus melakukan kerja-kerja jurnalistik selama dua tahun, saya merasa perlu memberikan pandangan yang lebih berimbang. Tulisan ini bukan semata pembelaan terhadap pesantren, melainkan upaya menjernihkan pemahaman dengan berpijak pada pengalaman empiris dan pendekatan ilmiah.
Memahami Tradisi Pesantren Secara Proporsional
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional yang menerapkan sistem asrama (boarding school), di mana santri belajar dan tinggal dalam lingkungan pendidikan selama 24 jam penuh. Pola ini memungkinkan bimbingan intensif sekaligus pembentukan karakter disiplin, kemandirian, dan spiritualitas. Seperti lembaga sosial lainnya, pesantren tentu tak steril dari kekurangan. Kritik terhadap perilaku menyimpang—seperti perundungan atau tindakan tak sejalan dengan nilai Islam—tetap diperlukan. Namun, mengeneralisasi seluruh tradisi pesantren sebagai praktik feodal jelas keliru dan tidak proporsional.
Secara historis, feodalisme merujuk pada sistem sosial-politik Eropa abad pertengahan, ketika kekuasaan didasarkan pada kepemilikan tanah dan garis keturunan. Marc Bloch dalam Feudal Society menjelaskan bahwa sistem ini ditandai oleh hierarki sosial yang kaku, loyalitas tanpa kritik kepada atasan, serta ketergantungan rakyat pada elite penguasa. Jika karakteristik itu dijadikan acuan, pesantren tidak dapat dikategorikan sebagai sistem feodal. Hierarki yang ada dalam pesantren bukan hanya berbasis keturunan atau kepemilikan, melainkan pada otoritas keilmuan dan moral. Hubungan antara kiai dan santri dibangun atas dasar adab dan penghormatan, bukan dominasi struktural.
Adab Pesantren: Antara Penghormatan dan Tuduhan Feodalisme
Tindakan-tindakan seperti santri membungkuk atau “ngesot” di depan kiai, atau minum dari gelas bekas guru, kerap dipersepsi sebagai simbol penundukan diri. Padahal, dalam konteks budaya pesantren—terutama di Jawa—hal tersebut merupakan ekspresi tawadhu’ (rendah hati) dan adab kepada guru, bukan bentuk perbudakan sosial.
Dalam praktiknya, penghormatan itu bersifat sukarela. Tak ada sanksi bagi santri yang tidak melakukannya. Kiai yang berjiwa pendidik justru menilai ketulusan dan niat santri lebih penting daripada gestur simbolik semata. Tradisi ini berakar pada latihan spiritual (riyadloh), sebagaimana diajarkan Abu Hamid al-Ghazali dalam Kimiya as-Sa’adah bahwa pengendalian hawa nafsu adalah bagian dari pendidikan moral. Oleh karena itu, aspek-aspek adab dalam pesantren lebih tepat dipahami sebagai upaya pembentukan karakter spiritual dan kesadaran moral, bukan feodalisme.
Jurnalisme dan Tanggung Jawab Representasi
Dari perspektif jurnalisme, tayangan Trans 7 menunjukkan kelemahan mendasar dalam penyajian perspektif. Jurnalisme ideal menuntut keberimbangan (balance) dan ketepatan konteks (accuracy). Setiap peliputan yang menyinggung sistem sosial atau budaya mestinya menghadirkan suara dari berbagai pihak—terutama pihak yang dikritik.
Ketika sudut pandang pesantren tidak dihadirkan secara proporsional, liputan tersebut kehilangan prinsip fairness dan berpotensi membangun stigma publik. Dalam situasi seperti ini, media seharusnya bertindak sebagai penyaji pengetahuan publik, bukan sekadar perekam sensasi.
Media sosial, sayangnya, sering memperparah situasi dengan menciptakan gema pendapat searah (echo chamber), di mana persepsi publik dibentuk oleh emosi dan viralitas, bukan oleh verifikasi fakta. Pesantren bukan ruang steril dari kritik. Dalam banyak pesantren, santri justru diajarkan berpikir kritis dan berdiskusi terbuka dengan guru dalam koridor adab keilmuan. Forum bahtsul masail misalnya, adalah ruang debat terbuka di mana argumentasi dan dalil diuji secara rasional. Hal ini berbeda dengan sistem feodal yang menolak kritik dan menuntut ketaatan mutlak; sedangkan pesantren mendorong dialog intelektual dalam bingkai hormat. Itulah perbedaan mendasarnya.
Refleksi Penutup
Pesantren adalah lembaga pendidikan yang hidup dari nilai, bukan struktur kekuasaan. Tradisinya memang sarat simbol dan hierarki, namun maknanya bersifat etis dan spiritual, bukan politis. Tuduhan feodalisme terhadap pesantren hanya akan melahirkan kesalahpahaman kultural jika dilepaskan dari konteks sejarah dan teologi Islam.
Di sisi lain, pesantren tetap harus melakukan pembaruan. Tradisi yang membentuk karakter luhur perlu dipertahankan, sementara praktik yang menjauh dari nilai kemanusiaan mesti ditinggalkan. Demikian pula media: alih-alih menghakimi, seharusnya berperan sebagai jembatan pemahaman antarbudaya, bukan corong prasangka. Tentu dalam dinamika yang terjadi di masyarakat yang kian kompleks, berpikir kritis dan berimbang adalah bentuk tertinggi dari adab itu sendiri.
0 Komentar