Problematika Implementasi Hukum Pidana Melalui Pendekatan Antara Retributive Justice dan Restorative Justice di Indonesia



 
(Doc. Google)

Oleh Nurul Hidayati Inayah, Mahasiswi Hukum Keluarga


Fakta sejarah mengatakan jika Indonesia merupakan sebuah negara jajahan dari Belanda selama 3,5 abad lamanya. Hal tersebut membuat negeri ini mewarisi aspek hukum dari Belanda. Indonesia telah menerapkan salah satu aspek hukum yaitu aspek hukum pidana yang termasuk dalam hukum publik.

Hukum pidana dibagi menjadi dua, yaitu pidana materiil yang sebelumnya diatur dalam Wetboek van Strafrecht (WvS) yang sekarang dielaborasi menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan pidana formil yang sebelumnya diatur dalam Het Herziene Inlandcshe Reglement (HIR) dan sekarang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 atau yang dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Hukum berfungsi untuk melindungi kepentingan manusia. Supaya kepentingan tersebut dapat terlaksana dan menjadi kenyataan maka hukum harus dilaksanakan atau ditegakkan. Dalam menegakkan hukum ada beberapa unsur yang harus diperhatikan, salah satunya adalah keadilan. Adil adalah proporsional atau dengan kata lain sesuai dengan wadah atau tempatnya. Keadilan berhubungan dengan putusan dari Hakim dan keadilan dapat berpihak kepada siapa yang benar atau berpegang pada kebenaran.

Seiring berjalannya waktu aspek Hukum Pidana Indonesia mengalami perubahan atau babak baru. Salah satu bentuknya adalah mengenai pencapaian keadilan yang dikenal dengan keadilan restoratif (Restorative Justice) yang berbeda dengan keadilan retributif (Retributive Justice). Keadilan retributif adalah teori yang pertama kali muncul sebagai justifikasi dilakukannya pemidanaan. Sifat dari keadilan retributif adalah menghukum, pelaku selalu dianggap sebagai penjahat dan harus mendapatkan hukuman yang berat.

Keadilan restoratif atau keadilan pemulihan adalah upaya penyelesaian perkara pidana melalu pendekatan yang baru. Keadilan restoratif bersifat memperbaiki dan memulihkan kondisi yang rusak akibat tindak pidana. Proses penyelesaian perkara melibatkan pelaku, korban, masyarakat, dan negara sebagai pendukung para pihak menyelesaikan kasusnya. Pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih meniktik beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri (Purwadi Arianto, 2013:5).

Ditinjau dari perkembangan hukum di Indonesia telah melakukan upaya dengan pendekatan yang baru, yaitu restorative justice. Dengan demikian di Indonesia ini tidak hanya berfokus pada penjatuhan sanksi atau hukuman melainkan juga memperhatikan keadilan bagi korban.

Salah satu contoh praktik dari pendekatan restorative justice adalah kasus pencurian yang dilakukan oleh anak berinisial ONS di kamar kost kota Sragen. Pelaku mencuri HP korban saat korban sedang terlelap tidur. Balai Pemasyarakatan melakukan mediasi terhadap anak tersebut yang melibatkan Balai Pemasyarakatan. Penyidik, korban dan tersangka, serta tokoh masyarakat. Dari hasil mediasi tersebut disepakati bahwa tersangka tidak akan diproses pidana, tetapi dikembalikan ke orang tuanya dan mendapatkan bimbingan dari Balai Pemasyarakatan agar tidak mengulangi perbuatan tersebut. Sedangkan korban menyetujui jika barang curian tersebut dikembalikan kepadanya. Dapat saya disimpulkan bahwa kasus yang kerugiannya kecil akan efektif jika melalui pendekatan restorative justice.

Meskipun begitu dari segi pelaksanaan atau praktiknya memang masih belum sempurna karena pendekatan restorative justice merupakan paradigma baru dalam penegakkan Hukum Pidana dan di Indonesia cenderung menggunakan retributive justice. Upaya tersebut sangat mungkin memiliki kendala, seperti tidak lengkapnya substansi hukum yang mengakomodir pelaksanaan restorative justice, sikap kaku dari penegak hukum, kurangnya sosialisasi ke para penegak hukum, dan kurangnya kerjasama antar penegak hukum untuk mengubah paradigma retributive justice menjadi restorative justice.

Contoh dari belum sempurnanya praktik restorative justice adalah pada kasus pencurian laptop yang dilakukan seorang pria berinisial DWK pada sebuah toko di kawasan Pancoran-Mampang. Kemudian korban melapor pada polisi dan beberapa hari berikutnya berhasil ditangkap namun barang buktinya sebagian ada yang dijual senilai Rp. 3 juta - 5 juta. Tersangka kemudian diproses secara hukum dan akhirnya divonis 7 tahun penjara oleh Hakim. Menurut saya dari uraian diatas masih menggambarkan pendekatan retributive justice karena lebih fokus pada pelaku kejahatan dan mengabaikan hak-hak korban. Pencuri sudah menerima balasan perbuatan pencurian dengan dihukum penjara alhasil korban sudah tidak berhak menuntut si pencuri lagi untuk mengembalikan laptopnya.

3 Komentar

  1. Saya sebagai mahasiswa hukum baru kali ini mengetahui adanya retributive dan restorative justice berupa danpak, penjelasan dan sebagainya. ya mungkin karena kurang membaca, akan tetapi dengan begitu kita bisa mengetahui bahwa tulisan ini sangat bermanfaat sekali terutama bagi golongan orang-orang seperti saya. Saran saya buat Nurul Hidayati Inayah yg notabene adalah teman sekelas saya sendiri terus berkarya terus kembangkan tulisanmu karena saya yakin anda sangat berbakat di bidang ini.

    BalasHapus
  2. Saya sebagai mahasiswa hukum baru kali ini mengetahui adanya retributive dan restorative justice berupa danpak, penjelasan dan sebagainya. ya mungkin karena kurang membaca, akan tetapi dengan begitu kita bisa mengetahui bahwa tulisan ini sangat bermanfaat sekali terutama bagi golongan orang-orang seperti saya. Saran saya buat Nurul Hidayati Inayah yg notabene adalah teman sekelas saya sendiri terus berkarya terus kembangkan tulisanmu karena saya yakin anda sangat berbakat di bidang ini.

    BalasHapus