Omnibus Law disahkan, Negara Leviathan

 

(Doc. Google) 


By. Ody M

Masyarakat kembali diramaikan dengan isu yang pernah bergulir beberapa bulan lalu yaitu Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law. Meskipun negara tengah dilanda pandemi Covid-19 pembahasan di meja legislatif tetap berlanjut. Dilansir dari kompas.com, DPR tanpa empati melanjutkan pembahasan RUU di situasi pandemi, pada awalnya RUU omnibus law menuai penolakan secara kolektif dari rakyat khususnya para buruh dengan bentuk turun kejalan dan Tag line #MosiTidakPercaya, banyak elemen yang juga ikut menolak disahkannya RUU ini termasuk LSM, Akademisi, dan Praktisi yang dinilai merugikan rakyat dan menguntungkan investor asing.


RUU Omnibus Law cipta kerja merupakan rancangan undang-undang gabungan dari berbagai klaster peraturan-peraturan. Rancangan Omnibus Law Cipta Kerja, terdapat 11 klaster antara lain; penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan pemberdayaan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset & inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah dan kawasan ekonomi. Klaster yang paling kontroversial yang ditolak oleh buruh secara kolektif adalah klaster ketenagakerjaan karena pesangon akan dihapuskan, skema upah buruh diubah jadi per jam, menghapus upah minimum yang merugikan para buruh.


Pada hari Senin (5/10), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan RUU Omnibus Law menjadi Undang-Undang Omnibus Law meskipun gelombang aksi yang dilakukan oleh rakyat dilakukan di setiap daerah tidak membawa dampak yang signifikan. Narasi-narasi konfrontatif kian melayang di sosial media yang di tujukan pada DPR dan Pemerintah Republik Indonesia salah satunya adalah ‘Berita duka telah pulang ke Ramatulloh hati nurani dan akal sehat DPR RI & Pemerintah RI’. 


Penulis merasa miris dengan keadaan yang diciptakan oleh DPR dan Pemerintah RI sebagai orang yang di percaya oleh rakyat memimpin kendala dan kendali negara. Pemerintah telah gagal mencapai negara yang di cita-citakan oleh rakyat sesuai pancasila dan pembukaan (prembule) UUD 1945 “Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia”.


Negara Leviathan


Menurut analisa penulis, keadaan yang diciptakan oleh DPR dan Pemerintah Indonesia ini relevan dihadapkan pada konsep negara Thomas hobbes tentang negara sebagai Leviathan. Hobbes mengibaratkan negara sebagai Leviathan, yaitu sejenis monster (makhluk raksasa) yang ganas, bengis dan menakutkan yang dikisahkan dalam Perjanjian Lama, negara kekuasaan harus memiliki sifat-sifat Leviathan yang kuat, kejam dan ditakuti adalah pemecahan masalah terbaik. Negara yang dikonsep oleh Hobbes memang dinilai kejam suara rakyat harus ikut pada negara memiliki hak otoritas penuh. Suara rakyat tidak menjadi perhitungan dalam memutuskan kebijakan pemerintah apa yang dianggap baik dan menguntungkan negara akan dilakukan karena rakyat dianggap sebagai sumber masalah. Konsep negara yang kejam sesuai dengan tindakan DPR dan Pemerintah RI sebab telah mengesahkan RUU Omnibus Law, meskipun gelombang penolakan terjadi dimana-mana.


Kejadian ini diinterpretasikan bahwa matinya demokrasi sebab oligarki kekuasaan untuk medapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dari pengesahan undang-undang. Dilansir dari kompas.com (4/10) pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dalam bentuk omnibus law yang dikebut pemerintah bersama DPR sarat pesanan, mementingkan golongan tertentu dan menginjak keinginan rakyat. 


Mahfud MD sebenarnya sudah menjelaskan dalam bukunya politik hukum Indonesia bahwa hukum hanyalah formalisasi, legislasi dari kepentingan politik. Untuk memproteksi perlu politik hukum yang dinamis karena akan menghasilkan produk hukum yang aspiratif sedangkan, politik hukum yang konservatif akan menghasilkan produk hukum kejam dan tirani’.


Sejatinya, negara era demokrasi seperti Indonesia negara tidak pantas menjadi monster yang menakutkan (leviathan) bagi rakyatnya. Mendengarkan suara rakyat, jeritan rakyat, aspirasi rakyat merupkan kriteria negara demokrasi yang telah termaktub dalam pasal l ayat (2) UUD’45 semua aspirasi rakyat harus menjadi prioritas utama bagi penetapan kebijakan-kebijakan publik pihak yang berwenang menciptakan nuasnsa hukum yang dinamis, aspiratif dan partisipatif.



1 Komentar

  1. Hukum yang dibuat berdasarkan hawa nafsu penguasa hanya berujung perbudakan atasnama hukum

    BalasHapus