Petuah untuk Kepala Desa

 

Doc. Google

Doc. Google


Petuah untuk Kepala Desa

oleh Ahmad Yusam Tabrani


Tampak dari kejauhan, sepeda motor bebek melaju dengan kecepatan sedang. Menuju sebuah rumah sederhana di pojokan desa, lebih tepatnya di ujung paling utara sisi desa. Desa dengan berderet-deret rumah, tiga ratusan jumlahnya. Sesampainya di rumah itu, sang pengendara langsung mematikan sepeda. Berjalan di bawah remang lampu jalan yang meski sudah lama tetap dibiarkan tak berubah. Pria itu segera menuju ke pintu rumah dengan tatapan mata agak layu, tak tampak sama sekali rona senyum dari bibirnya.

Baru memegang gagang pintu dari kayu jati yang tampak mewah, telepon genggam miliknya tiba-tiba berdering. Mengurungkan niatnya untuk bergegas masuk kedalam rumah. Dikeluarkan dari saku celananya, telepon genggam yang terus berdering itu. Pak Warno, nama yang tampak dari layar telepon, membuatnya urungkan niat untuk menerima panggil. Membuat teleponnya tak henti berdering. Ia coba menangkan diri, duduk di kursi kayu yang terletak di teras rumah.

 

 

Beberapa bulan lalu, di desa tersebut dilaksanakan pemilihan kepala desa baru. Setelah masa jabatan kepala desa yang lama telah habis. Pada pemilihan itu terdapat dua calon kepala desa. Calon yang pertama adalah seorang pemuda desa, dengan dukungan penuh pemuda-pemuda desa lainnya, besar harapan terjadi perubahan masif pada desa tersebut. Calon satunya lagi adalah seorang pria paruh baya, yang mendapat dukungan dari seorang Juragan Besar yang hartanya tak usah ditanyakan lagi.

Tentu sudah bisa ditebak siapa pemenangnya. Semangat para pemuda desa nyatanya tak bisa mengalahkan kucuran dana yang tak henti dari Sang Juragan. Sebenarnya niat awal dari pria paruh baya ini baik, ingin mengakhiri budaya-budaya buruk yang sudah mengakar dan dilanggengkan oleh warga desa. Nahasnya ia terlalu polos, menganggap bantuan dana dari sang juragan cuma-cuma, dan merasa bahwa itu bentuk kebaikan hatinya.

 

 

Istri dari pria ini keluar, merasa bising dengan suara dering telepon yang tak kunjung henti, hingga menembus tembok bata dan jendela kaca.

 

"Ada apa Pak, dari tadi kok nggak diangkat teleponnya"

"Ini loh Buk, dari tadi Pak Warno terus menelpon. Tadi sudah ngirim pesan, katanya ingin anaknya masuk di jajaran pengurus desa"

"Lah memang kenapa Bapak tidak mengiyakan saja?"

"Gimana mau mengiyakan, wong anaknya Pak Warno itu keterlaluan kelakuannya"

"Keterlaluan gimana?"

"Lah Ibuk ini gimana to. Sudah jadi perbincangan warga lo, kalo Karmin anak Pak Warno itu sering dugem, terus mabuk-mabukan tak tahu tempat"

"Loh karmin itu anaknya Pak Warno?"

"Lah itu, Bapak juga baru tau beberapa minggu lalu. Pak Sekdes yang beritahu Bapak"

Istri pria tersebut lantas meninggalkannya masuk kedalam rumah. Menjadikan terus bingung tak berkesudahan. Tak lama ia menyusul, masuk ke dalam rumah. Duduk di meja makan, menatap kosong taplak meja yang tidak terdapat hidangan apapun di atasnya.

 

"Buatkan Bapak wedang Buk, jangan manis-manis"

"Iya Pak, tunggu sebentar" Sambil menuju ke dapur, sesegera mungkin menuruti perintah sang suami.

Sambil menunggu wedang sedang dibuatkan, pria ini kembali membuka telepon genggam yang sudah tidak berdering lagi. Dilihatnya notifikasi pesan yang jumlahnya sudah berpuluh-puluhan. Nama Pak Warno yang bertengger paling atas, tapi ia masih tak punya cukup keberanian untuk menjawab permintaan yang dari kemarin Pak Warno sampaikan.

 

 

Dua minggu sebelum pemilihan kepala desa, Pak Warno mendatangi rumah Sutikto. Calon kepala desa, yang Pak Warno tau betul keluarga besar Sutikto sudah mengakar tunggang di desa tersebut. Bapak Pak Tikto adalah anak dari kepala desa, yang berpuluh tahun lalu memimpin desa tersebut. Mempunyai lima orang anak yang semuanya tinggal serta besar di desa itu, dan Pak Tikto merupakan anak sulung dari lima bersaudara tersebut. Tak jauh berbeda dari jalur sang bapak, ibu Pak Tikto merupakan pensiunan guru yang hampir semua warga desa mengenal dan tau latar belakangnya.

Pak warno juga paham betul, rencana dari pak Tikto untuk maju jadi calon kepala desa dengan bermodalkan kekeluargaan. Yang mana hampir di setiap sebaran RT di penjuru desa tersebut terdapat sanak atau bahkan saudara dari Pak Tikto. Tapi Pak Warno coba meyakinkan, bahwa dengan bermodalkan kekeluargaan, Pak Tikto pasti tak sanggup mengalahkan semangat membara para pemuda desa.

Cukup lama diskusi mereka, menghanguskan tujuh batang rokok perorang. Dan berakhir dengan kemenangan rayuan Pak Warno, sang juragan itu dengan kata-kata manisnya bisa meyakinkan Pak Tikto, bahwa dengan bermodalkan niatan tulus dan dukungan keluarga besar tak cukup membuatnya sukses mencapai rencana yang dianggapnya sudah matang.

 

 

Gelas berisi wedang yang tadi disajikan istrinya sudah mengering. Seperti masih ada yang kurang, pria tersebut kembali memanggil istrinya.

"Buk apa nggak ada makanan sama sekali?"

"Tinggal satu piring tadi Pak nasinya. Nggak lama bapak pulang, Adi menghabiskannya"

"Lah terus bapak makan apa?"

"Bapak cari makan sendiri aja di luar, sudah malam gini nanggung kalo menanak nasi lagi"

Mendengar jawaban tersebut, ia merasa seperti tak ada jalan lain, selain ia harus pergi keluar untuk mencari makan. Berdiri dari duduknya, mengambil kunci sepeda yang posisinya sejak kedatangannya masih belum berubah. Menyalakan sepeda, menerjang keheningan malam yang ia rasakan tak seperti biasanya.

Bersepeda agak lama, hingga ia sampai di pertigaan kecamatan. Tempat yang cukup ramai untuk mencari hidangan malam. Tapi ia lebih memilih berhenti di penjual nasi goreng yang terpantau sepi tanpa pembeli. Bukan tanpa alasan, ia tak ingin terlalu lama menunggu penjual membuat makanan untuknya.

"Pak, nasi gorengnya satu ya" ucapnya kepada penjual nasi goreng itu.

"Makan di sini atau dibungkus Pak?"

"Dibungkus saja"

"Iya Pak, tunggu sebentar ya"

Sambil menunggu, ia duduk di kursi yang disediakan tak jauh dari sang penjual. Sambil terus termenung, coba menatap lampu yang seolah berkaca dari matanya, redup seperti kurang tenaga. Ingin menyalakan telepon genggam, tapi masih takut dan tak tahu mau dibalas bagaimana pesan dari Pak Warno tadi.

"Kenapa pak kok terlihat muram gitu" sapa penjual nasi goreng, yang coba memecahkan keheningan.

"Iya Pak, lagi ada masalah yang belum beres"

"Pasti ada kaitannya dengan pemilihan kepala desa kemarin, ya Pak?" penjual nasi goreng itu coba menebak. Ia tak tahu, kalau yang sedang diajak bicara merupakan kepala desa terpilih dari desa tetangganya.

"Memangnya kenapa Pak, kok sampean punya pemikiran seperti itu?" pria itu balas menanya, coba mengelak tebakan yang memang ada benarnya.

"Di desa saya kemarin ada keramaian Pak. Kepala desa yang terpilih demo banyak orang"

 "Loh sebab apa, baru jadi kok sudah didemo" Ia makin penasaran terhadap apa yang diceritakan penjual nasi goreng itu.

"Desus-desusnya sih bobroknya dibongkar oleh pendukungnya yang tidak diberi jatah jajaran kepengurusan"

"Walah, kok bisa gitu ya"

"Ini Pak, nasinya sudah jadi"

Sambil menjulurkan uang untuk membayar, pria itu langsung menuju ke sepeda yang ia gunakan. Tak langsung menyalakan sepeda tersebut, ia lantas mengambil telepon genggam. Menyalakan telepon itu, dan tak tahu kenapa ia seolah mendapat petuah dari pertanyaan yang dari tadi terus membuat bimbang. Sesegera mungkin membalas pesan Pak Warno yang dari tadi ia anggurkan.

Dengan aura dari wajah yang sudah berubah, tak lagi layu tatapan matanya, senyumnya buat lampu di jalan raya malu agak malu menyainginya. Tegap saat berkendara, dilajukan agak kencang kendaraan yang ia tumpangi. Tak sabar sesegera mungkin menyantap makanan yang ia bayangkan rasanya bercampur dengan kelegaan segala gundah yang dari tadi ia pikirkan.

 


0 Komentar