Cacat Hukum “Pemecatan Hakim Konstitusi” oleh DPR RI

Ditulis oleh: Merina Puspita 
Editor: Caca

Sumber: Republika.co.id | Aktivis menolak pemecatan oleh DPR RI

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) memberhentikan Hakim Aswanto dari jabatan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Alasan pemberhentian Hakim Aswanto ialah karena Hakim Aswanto dinilai menganulir produk hukum usulan DPR. Pada mulanya, Hakim Aswanto memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion) terhadap judicial review Undang-Undang Cipta Kerja. DPR beranggapan bahwa hakim konstitusi yang diusulkan oleh DPR tidak boleh menganulir produk hukum yang diusulkan oleh DPR. Hal tersebut disampaikan secara langsung oleh Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Wuryanto, yang menilai tindakan Hakim Aswanto mengecewakan.

Pemberhentian Hakim Aswanto yang dilakukan oleh Bambang Wuryanto dapat dianalogikan seperti perusahaan memecat redaksinya. Bahkan, secara tegas Bambang Wuryanto juga menyebutkan bahwa Hakim Aswanto tidak berkomitmen saat menjadi hakim konstitusi. Pandangan ini tentunya merupakan pandangan yang cacat dan tidak berdasar, bagaimana mungkin struktur ketatanegaraan dipandang sama dengan struktur dalam sebuah perusahaan? Upaya mendegradasi nilai independensi dan praktik intervensi politik terhadap MK terang benderang diperlihatkan lembaga legislatif. Pemberhentian ini dirumuskan dalam Rapat Paripurna Fraksi III DPR secara sepihak. Dalam waktu bersamaan, anggota dewan juga sepakat memilih Sekretaris Jenderal MK, Guntur Hamzah, untuk mengganti posisi Aswanto sebagai hakim konstitusi mendatang.

Pencopotan Aswanto secara sepihak oleh DPR RI merupakan pelanggaran hukum. Pasal 23 ayat 4 UU MK telah menyatakan bahwa pemberhentian hakim MK hanya dapat dilakukan melalui Keputusan Presiden atas permintaan ketua Mahkamah Konstitusi. Alasannya pun diatur secara limitatif dalam pasal 23 ayat 1 dan 2 UU MK.  Pemberhentian Aswanto yang langsung digantikan oleh Guntur Hamzah telah menyalahi pasal 19 UU MK. Pasal tersebut jelas mengatur bahwa dalam mencalonkan hakim konstitusi harus terpenuhi unsur partisipatif dan transparan. Lebih lanjut, pemilihan hakim konstitusi juga harus dilaksanakan secara objektif dan akuntabel. Pencopotan ini pun dinilai sebagai kepentingan politis semata karena Aswanto menganulir produk hukum yang diusulkan oleh DPR. 

Padahal seharusnya hakim konstitusi bersifat independen dan tidak boleh diintervensi oleh siapapun. Tindakan ini mengacaukan prinsip ketatanegaraan dan merusak independensi, kemandirian, kebebasan, dan kekuasaan hakim sebagai prinsip universal maupun kelembagaan MK. Pengisian jabatan hakim MK melalui 3 cabang kekuasaan presiden, DPR, dan Mahkamah Agung tidak dimaksudkan untuk mewakili kepentingan masing-masing institusi, melainkan untuk menjamin independensi MK sebagai penjaga konstitusi. Jika dibiarkan tindakan ini dapat menjadi bentuk dominasi dan kontrol legislatif terhadap kekuasaan kehakiman yang berimplikasi pada posisi Indonesia, menjadikannya semakin jauh dari koridor negara hukum dan HAM. Kondisi demikian membuat kita patut menduga bahwa ke depannya MK atau hakim MK yang dipilih DPR sangat kental dengan muatan kepentingan politik tertentu dan hanya akan menjadi alat pelindung bagi regulasi predatoris ciptaan DPR RI dari upaya pengujian oleh publik.

Menurut Pasal 24C ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim. Konstitusi yang ditetapkan oleh presiden melalui Keputusan Presiden setelah diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden. Meskipun diusulkan oleh ketiga lembaga tersebut, bukan berarti hakim konstitusi yang diusulkan harus memiliki pandangan yang sama dan sejalan dengan ketiga lembaga tersebut ketika sedang menangani pengujian suatu undang-undang. Selain itu, Mahkamah Konstitusi adalah lembaga yudisial yang berdiri sendiri tanpa intervensi dari lembaga legislatif ataupun eksekutif dalam melaksanakan tugasnya, sebab ini adalah tujuan dari trias politica yang ada, yaitu untuk check and balances di antara lembaga lembaga lainnya. Pada setiap negara, konsep rule of law secara tersirat maupun tersurat telah terdapat pada konstitusi setiap negara. Setidaknya, ada dua aspek penting dari konsep rule of law. Yaitu pertama, hukum harus dapat mengatur masyarakat dan masyarakat taat pada hukum, yang kedua hukum harus memiliki kapasitas untuk dapat dipatuhi (good laws). Maka dari itu, independensi lembaga peradilan mutlak diperlukan sebagai prasyarat untuk menegakkan rule of law. Oleh sebab itu, peradilan bebas dan tidak memihak mutlak harus ada dalam setiap negara hukum. Sejalan dengan itu, maka ketentuan akan independensi lembaga peradilan harus dicantumkan dalam undang-undang dasar sebagai jaminan konstitusional akan pelaksanaannya.

Di Indonesia, ketentuan atas jaminan independensi lembaga peradilan juga dicantumkan dalam Konstitusi. UUD NRI 1945 menggunakan terminologi "Merdeka sebagai jaminan konstitusional atas independensi lembaga peradilan". Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 juga menyatakan bahwa "Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Pentingnya independensi sebuah lembaga peradilan dalam penegakan hukum dan keadilan tidak hanya tercermi5n dalam pencantumannya pada konstitusi sebagai hukum tertinggi pada hukum positif sebuah negara, instrumen-instrumen hukum internasional juga banyak yang mencantumkan pengaturan atas pentingnya lembaga peradilan yang independen. Universal Declaration of Human Rights tahun 1948, pada Pasal 10 menyebutkan bahwa "Everyone is entitled in full equality to a fair and public hearing by an independent and impartial tribunal, in the determination of his rights and obligations and of any criminal charge against him." Hal ini menunjukan bahwa independensi lembaga peradilan pun sudah diatur oleh konvensi hukum internasional. 


Referensi:

Tundjung Herning Sitabuana, 2020, “HUKUM TATA NEGARA INDONESIA”. Penerbit Konpress. Jakarta.

 https://nasional.kompas.com/read/2022/10/13/05300021/respons-pemberhentian-hakim-aswanto-oleh-dpr-uu-mk-digugat 

https://kumparan.com/endriantobayu71/pemberhentian-hakim-konstitusi-aswanto-dan-imbasnya-terhadap-independensi-hakim-1yxte5q18qg 

https://jateng.tribunnews.com/2022/10/15/diskusi-pemberhentian-hakim-mk-aswanto-prof-martitah-sebaiknya-presiden-abaikan-usulan-dpr 

https://nasional.tempo.co/read/1640787/pshk-menilai-pemberhentian-hakim-mk-aswanto-oleh-dpr-cacat-hukum 



0 Komentar