Tragedi Kanjuruhan Tanggung Jawab Siapa?

Ditulis oleh: Aisyah Aulia (Caca)

Sumber: Kompas.com|Puluhan suporter turun ke lapangan sebelum tragedi.

Dunia digemparkan oleh tragedi kerusuhan sepak bola di Kanjuruhan, Malang pada malam Sabtu, (1/10/22) yang menimbulkan ratusan korban jiwa meninggal secara memprihatinkan. Laga pertandingan antara Arema FC vs Persebaya Surabaya ini menyisakan duka mendalam bagi dunia sepak bola.

Dilansir dari Liputan6.com, bahwasannya jika dilihat dari beberapa aspek seperti perizinan laga dan izin keramaian dari kepolisian, terdapat beberapa hal yang menjadi perhatian penulis. PT Liga Indonesia Baru (PT LIB) sebagai operator kompetisi dan Panitia Pelaksana (Panpel) menolak usulan dari Polres Malang mengenai jam pertandingan yang baiknya dimulai sore hari ketimbang malam sebagai antisipasi keamanan. Sehingga, Polres Malang mengeluarkan rekomendasi izin keramaian laga dilaksanakan pada malam hari. Polda Jatim pun memberikan izin yang sama dengan syarat stadion hanya diisi 75 persen dari kapasitas maksimal. Akan tetapi, jumlah penonton yang hadir pada malam kejadian sebanyak 42.000 orang yang seharusnya stadion diisi 38.000 penonton. Tentu ini menjadi suatu tanda tanya mengapa bisa jumlah tiket yang dicetak melebihi batas ketentuan? Bukankah seharusnya Panpel lebih memperhatikan terkait hal ini, terlebih kapasitas ruang memengaruhi keamanan penonton bila sewaktu-waktu terjadi chaos. Namun, Officer Arema FC menyanggah adanya overload yang terjadi di stadion. Kemudian, di sisi lain setelah dari kejanggalan jumlah tiket yang harusnya dikoordinasi lebih baik oleh Panpel, saat laga dimenangkan oleh Persebaya Surabaya dengan skor 3-2, banyak suporter Arema yang tidak terima dan mereka turun ke lapangan dan diantaranya juga merusak beberapa kendaraan milik aparat.

Polisi yang semakin kewalahan akhirnya menembakkan gas air mata pada para suporter, pun mereka yang ada di tribun. Langkah yang dilakukan tentu tidaklah benar, karena dalam Statuta FIFA sendiri dalam pasal 19 b mengenai pengaman di pinggir lapangan. "No firearms or 'crowd control gas' shall be carried or used (senjata api atau 'gas pengendali massa' tidak boleh dibawa atau digunakan)”. Faktanya, disana memang bukan hanya ada orang-orang dewasa melainkan anak-anak juga.

Penghormatan atas hak hidup dan keamanan semua orang juga perlu diperhatikan. Terlebih lagi dari beberapa edaran video di internet yang banyak tersebar, seolah-olah aparat memperlakukan suporter seperti segerombolan musuh yang harus dilenyapkan. Akibat dari tembakan gas air mata itulah menjadi penyebab kepanikan penonton membludak. Lelaki, wanita, dan anak-anak berdesak-desakan ingin keluar dari pintu yang masih tertutup. Banyak yang sesak nafas, terinjak-injak, hingga berujung pada kematian.

Hingga kini menurut data Pemerintah Provinsi Jawa Timur tercatat data resmi tragedi Kanjuruhan dengan jumlah 131 korban meninggal dan 550 orang mengalami luka berat ringan.

Diantara kedukaan mendalam yang belum usai, hingga kini masyarakat mempertanyakan kebijakan apa yang akan segera dilakukan oleh pemerintah. Semua pihak yang terlibat di dalam pertandingan ini baik dari PSSI, Kapolda, Panpel, dsb, harus bertanggungjawab atas kejadian ini. Aparat yang menembakkan gas air mata perlu ditindak tegas karena banyak HAM yang terenggut. Sekali lagi, tidak ada sepak bola seharga nyawa dan ketenangan tidak selalu diperoleh dengan (gas) air mata. 


0 Komentar