PENGIKISAN DAN PELEMAHAN KPK SEMAKIN TERLIHAT, MENGAPA???

Ditulis oleh: Merina Puspita

Editor: Caca

Ilustrasi: hpa.or.id

Korupsi telah dijelaskan dengan jelas dalam 13 pasal Undang-Undang 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Dari prespektif hukum, pengertian tindak pidana korupsi (Tipikor) banyak mengandung unsur-unsur seperti perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang/kesempatan/sarana, memperkaya diri/orang lain/perusahaan, dan merugikan keuangan negara. Sejak era reformasi, semangat pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) busuk di masa Orde Baru kembali digaungkan oleh berbagai pihak. Namun, bukannya menurun, korupsi, kolusi (KKN) di Indonesia malah meningkat. Hal itu diperparah dengan janji-janji Presiden Jokowi yang tidak pernah terwujud. Sejak dilantik pada 2014, Presiden Jokowi mengatakan akan merestrukturasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan memperkuat fungisonaris KPK. Presiden Jokowi juga berjanji selama kampanye pemilihan presiden 2019 untuk mempertahankan sistem peradilan yang layak, akuntabel, dan bebas korupsi. Janji manis ini sangat sering diucapkan oleh Presiden Jokowi. Namun, komitmen yang hanya berdasarkan kepentingan politik sejauh ini tentu tidak berdampak signifikan terhadap kasus pemberantasan korupsi di Indonesia. Perasaan miris tentu menyelimuti masyarakat ketika melihat kasus korupsi masih merajalela di negeri ini. Mengingat Jokowi-Ma'ruf sudah tiga tahun menjabat, mari kita telaah apakah janji-janji tersebut sudah ditepati?

UU KPK Dinilai Melemahkan Sistematis Lembaga Antikorupsi

Janji-janji manis pemerintah yang tak pernah terealisasikan bahkan sering menimbulkan beberapa kontroversi hingga saat ini. Keberadaan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 (UU 19/2019) yang hanya perlu dibahas dalam waktu 13 hari berdampak sangat negatif terhadap kinerja KPK. Pemerintah pun seolah-olah abai terhadap aksi bantahan yang dilancarkan berbagai lapisan masyarakat. Menurunnya kinerja KPK pasca pengesahan undang-undang terdapat permasalahan ini dapat di nilai dari beberapa poin evaluasi sebagai berikut:

  1. Melemahnya Fungsi Dewan Pengawas (Dewas) KPK Di tengah maraknya laporan dan dugaan pelanggaran kode etik terhadap pimpinan KPK, seharusnya Dewas KPK berada di garda terdepan dalam menindak laporan tersebut, akan tetapi dalam hal ini tidak mampu menjalankan tugasnya karena belum ada perkembangan terkait penyalahgunaan wewenang Firli Bahuri dalam kasus peledakan SMS.
  2. Tingkat antikorupsi KPK Penindakan lembaga antikorupsi saat ini berada pada tahap terparah. Berdasarkan data yang diperoleh Indonesia Corruption Watch (ICW), KPK hanya berhasil melakukan enam OTT pada 2021.
  3. Kemunduran Sektor Pencegahan KPK Berdasarkan Pusat Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, terdapat beberapa fakta yang mendukung kegagalan KPK dalam pencegahan korupsi, antara lain kewenangan KPK untuk mengawasi, melakukan penyidikan dan lembaga yang memberikan pelayanan publik yang tidak lagi disebutkan dalam UU 19/2019.

Implementasi Penanganan Korupsi Pasca Revisi UU KPK

Sangat jelas dan tegas bahwa banyak poin UU 19/2019 yang melemahkan kinerja KPK. Tindakan perlawanan massa oleh berbagai elemen masyarakat harus dijadikan bahan evaluasi kinerja pemerintah. Pengesahan UU 19/2019 berdampak signifikan terhadap penurunan kepercayaan publik terhadap KPK. Dilihat lebih dalam, pemberlakuan UU 19/2019 berpotensi melemahkan KPK karena beberapa hal, yaitu adanya cacat materiil dan formil dalam UU 19/2019, adanya peralihan status pegawai KPK secara tidak sah menjadi pegawai KPK. Aparatur Sipil Negara (ASN) melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), berbagai persoalan di pimpinan KPK dan akumulasi kasus-kasus penting yang belum terselesaikan membuat gerak KPK menjadi sangat terbatas. Ruang gerak KPK yang sangat terbatas tentu saja melemahkan dan memperburuk kinerja pegawai KPK, padahal sebagai lembaga antikorupsi seharusnya diberikan ruang seluas-luasnya untuk menjalankan tugas dan wewenangnya. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa penanganan kasus korupsi di Indonesia yang terus berlanjut hingga saat ini jelas mengalami penurunan yang tentunya bertentangan dengan janji Jokowi terkait penyelesaian masalah korupsi di Indonesia.

Kasus BLBI dari Salah Satu Segelintir Kasus Mangkrak

Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) merupakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk menangani krisis moneter pada tahun 1998 silam. Bl melalui kebijakan ini mengucurkan dana sebesar 147 triliun kepada puluhan bank yang hampir kolaps agar memudahkan pencairan dana bagi masyarakat dan bank tersebut wajib mengembalikan dananya pada negara dalam kurun waktu empat tahun sebelum jatuh tempo. Namun, banyak debitur yang belum mengembalikan dana tersebut hingga hari ini. Namun, beberapa tahun berselang, proses pengusutan kasus BLBI ini tidak kunjung menemukan titik terang. Ironisnya, pada 2021, KPK memutuskan menerbitkan SP3 yang merupakan surat pemberhentian pengusutan suatu kasus, dalam hal ini BLBI. Dalihnya, KPK menilai kasus BLBI ini tidak kunjung terselesaikan dalam kurun waktu dua tahun. Kewenangan KPK mengeluarkan SP3 didasarkan oleh Pasal 40 UU 19/2019 yang cukup problematik dengan berbagai implementasinya yang tidak menunjukkan muruah pemberantasan korupsi secara intensif. Dari sini, kasus BLBI tidak lagi ditangani secara langsung oleh KPK, tetapi melalui Satuan Tugas (Satgas) BLBI. KPK tetap dapat berkoordinasi dengan Satgas BLBI ini dalam memberikan informasi pendukung. Namun, baik koordinasi yang dilakukan Satgas BLBI dan KPK juga minim transparansi sehingga tidak dapat dikuantifikasi kejelasan proses pengusutan kasus ini.

Pada tahun 2021 Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) telah mengajukan 5 gugatan praperadilan terhadap kasus yang mangkrak pada Komisi Pemberantasan Korupsi, dan lima perkara tersebut diantaranya kasus Bank Century, E-KTP, Bansos, Sembako Kemensos, Pengadaan Helikopter AW, hingga pengembangan mantan bupati Malang Rendra Kresna, yang dijadwalkan akan digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Tentu dalam hal ini fenomena tipikor di Indonesia tidak menemukan titik akhir atau ujung yang jelas sehingga akibatnya banyak penyimpangan dalam upaya pemberantasannya, contonya seperti masih menjamurnya fenomena KKN hingga revisi UU KPK yang dinilai melemah kinerja dari lembaga anti korupsi tersebut. Serta mengakibatkan turunnya kepercayaan masyarakat terhadap penanganan kasus korupsi di Indonesia yang hal ini merupakan konsekuensi absolut dari penanganan tipikor yang tidak efektif dan setengah-setengah

Referensi:

https://nasional.kompas.com/read/2021/08/12/19104901/komitmen-presiden-jokowi-terkait-pemberantasan-korupsi-dipertanyakan?page=all

https://nasional.tempo.co/read/1248808/jokowi-dianggap-main-main-janji-pemberantasan-korupsi

https://grafis.tempo.co/read/1819/rincian-pasal-pasal-yang-diduga-bermasalah-di-revisi-uu-kpk

https://pshk.or.id/publikasi/siaran-pers/putusan-uji-formil-uu-cipta-kerja-tafsir-baru-yang-ambigu/

https://nasional.kompas.com/read/2021/10/29/17301831/ma-cabut-pp-99-tahun-2012-koruptor-lebih-mudah-dapat-remisi

https://pshk.or.id/rr/lima-argumen-revisi-uu-kpk-cacat-hukum-dan-harus-dibatalkan/

https://nasional.tempo.co/read/1448939/kpk-terbitkan-sp3-kasus-blbi-pks-cederai-rasa-keadilan

https://www.kompas.com/tren/read/2021/04/02/193100265/kasus-blbi-dihentikan-bagaimana-perjalanan-kasusnya-selama-ini-

https://nasional.kompas.com/read/2019/05/15/13015381/18-kasus-korupsi-besar-mangkrak-pimpinan-kpk-tegaskan-terus-bekerja

https://islamtoday.id/news/20210405130521-28894/maki-gugat-5-kasus-mangkrak-yang-ditangani-kpk/


0 Komentar