Hak Atas Kota: Hiruk Pikuk Pembangunan Kota Surabaya

Ditulis: Merina Puspita

Editor: Arbi


Mengenai Hak atas Kota

Lefebvre memimpikan sebuah ruang kota sebagai tempat yang tidak hanya didominasi oleh segelintir orang dengan penguasaan ekonomi dan politik, tetapi juga bagi mereka yang seringkali tersingkirkan dalam proses pembangunan kota, dengan cara melakukan pemantasan dan memberikan akses untuk masyarakat berpartisipasi. Partisipasi ini, Lefebvre gambarkan sebagai sebuah seni untuk terlibat aktif mengelola ruang sebagai tempat masyarakat tersebut tinggal. Tidak hanya sebagai objek dalam pembangunan, melainkan juga sebagai subjek pembangunan yang ikut mengelola dan berseni membangun kota dengan caranya.

Namun, perjalanan menuju mimpi Lefebvre tersebut masih penuh dengan tantangan, masih banyak kisah-kisah dari mereka yang tertinggal dalam hiruk pikuk pembangunan kota.

Waduk Sepat: Tukar Guling Pemkot dan PT. Citraland Berimbas pada Masyrakat Setempat

Potret warga menggugat Waduk Sepat|Sumber: betahita


Berawal dari Surat Keputusan Walikota Surabaya No. 188.45/366/436.1.2/2008 atas persetujuan DPRD Kota Surabaya dengan Surat Keputusan No. 39 Tahun 2008. Dari SK tersebut, menjadikan tanah area Waduk Sepat status kepemilikannya beralih milik pengembang PT. CitraLand. Parahnya lagi, status tanah tersebut diperoleh dari proses menukar guling lahan di Waduk Sepat tanpa ada kesepakatan dengan warga setempat, padahal tanah tersebut masih menjadi status sengketa dalam kepemilikannya antara masyarakat dan pemerintah Kota Surabaya. Akan tetapi, permasalahan baru muncul dengan adanya kebijakan pemerintah yang melakukan ruislag (tukar guling) dengan pihak PT. CitraLand.

Klaim sepihak yang dilakukan oleh Pemkot Surabaya dan dialihkan ke pihak PT. CitraLand, tentu menimbulkan kerugian bagi masyarakat sepihak, karena di sana tempat mereka tinggal akan tetapi direnggut oleh pihak yang berkepentingan. Masyarakat setempat, sempat melakukan aksi menceburkan diri ke dalam waduk untuk menghentikan penimbunan tersebut. Namun, upaya yang dilakukan masyarakat setempat mendapat tindakan represif dari pihak kepolisian, salah satunya terjadi pemukulan terhadap seorang relawan yang tergabung dalam satu aliansi untuk menolak tindakan penimbunan tersebut.

Perlawanan masyarakat dibantu oleh beberapa pihak yang bersimpati, salah satunya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya. Sampai sekarang, permasalahan tak kunjung usai dan masih abu-abu.

Tambak Bayan: Kampung Lama di Kota Surabaya yang masih Bersengketa

Potret Kampung Tambak Bayan|Sumber: radarsurabaya.jawapos.com

Kampung Tambak Bayan merupakan salah satu dari kampung lama di Kota Surabaya, kampung dengan etnis Tionghoa yang masih bertahan di tengah perkembangan zaman. Kampung yang terbentuk setelah ratusan tahun ini, masih bertahan di tengah-tengah kepungan pesatnya pertumbuhan perekonomian Kota Surabaya. Di dalam kampung ini, masih banyak masyarakat yang memiliki keterikatan emosi kuat terhadap Kampung Tambak Bayan sebagai tanah leluhur.

Status kepemilikan Tanah Tambak Bayan berdasarkan SHGB No.224 yakni, bangunan rumah yang berdiri di atas Tanah Negara. Akan tetapi, pada tahun 2011 Tambak Bayan mengalami konflik sengketa dengan Hotel Veni Vidi Vici (V3) yang mengklaim kepemilikan atas kawasan tersebut berdasarkan SHGB No.829, atas nama Soetijadi Yudho. Padahal penerbitan SHGB No 829 masih memiliki konflik dengan BPN Kota Surabaya, karena dirasa peneribitan tersebut bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh pihak BPN, baik secara data fisik maupun yuridis. Sehingga penerbitan SHGB No.829 tersebut bertentangan dengan peraturan perundangan yang antara lain: PP No.10 Tahun 1960, PMDN No.5 Tahun 1973, pasal 4 PMDN NO.6 Tahun 1972, pasal 4 huruf b PMDN no.6 Tahun 1972, KEPPRES No.32 Tahun 1979 dan PMDN NO.3 Tahun 1979.

Meskipun demikian, permasalahan konflik sengketa Tambak Bayan dengan Pihak Hotel V3 masih belum terselesaikan dengan baik. Entah apa yang menghambat dalam proses penyelesaian sengketa. Tentu yang pasti berimbas terhadap masyarakat setempat yang terbayang-bayang penggusuran atas tempat tinggal mereka.

Berdasarkan pemaparan di atas, bahwa bukti dari hiruk pikuk bidang pertanahan di sebuah perkotaan, baik yang disebabkan oleh pihak pemerintah ataupun pihak swasta yang berkepentingan. Tentu berimbas pada masyarakat setempat yang bertempat tinggal atau bermukim di sana. Maka dari itu, diperlukannya upaya rekonstruksi ulang terhadap penataan kota sesuai dengan kondisi daerah setempat, terlebih dalam pembangunan sudah semestinya mekanisme penyelenggaraan sesuai dengan UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, dan yang paling penting adanya transparansi dalam pembangunan jika terdapat penduduk yang bermukim di sana, agar tidak ada permasalahan di kemudian hari

“Hak atas kota itu seperti seruan dan tuntutan. Hak ini perlahan berkelok-kelok melalui jalan memutar nostalgia dan pariwisata yang mengejutkan, kembali ke jantung kota tradisional, dan panggilan dari sentralitas yang ada atau yang baru dikembangkan.” — Henri Lefebvre.


Referensi:

Kontras, S. (2018). Analisis Peralihan (Tukar Guling) Hak Atas Tanah ‘Bekas Tanah Desa’ di Dukuh Sepat, Kelurahan Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri Oleh Pemerintah Kota Surabaya Dalam Perspektif Hukum Dan Hak Asasi Manusia. Surabaya: Kontras Surabaya.

Wardhani, N. F. (2016). Gerakan Lembaga Swadaya Masyarakatdalam Memperjuangkan Sengketa Lahan Waduk Sakti Sepat diKelurahan Lidah Kulon Surabaya. Jurnal Politik Muda, 5(2),138–146.

https://www.kompasiana.com/prysupriyadi/5509141aa33311a9452e3b4a/shgb-829-sengketa-tambak-bayan

https://www.ngopibareng.id/read/tambak-bayan-perjuangkan-sengketa-lahan-lewat-pameran-2644080


0 Komentar