Meneladani Kisah KH. Wahab: Saya Bangga jadi Bagian dari NU

Ditulis oleh: Alfian Muslim Pris Firdaus

Editor: Caca




Dalam rangka merayakan Satu Abad Nahdlatul Ulama' (NU) pada 7 Februari 2023, saya ingin mengutarakan isi hati saya mengenai kekaguman saya terhadap NU, serta hal-hal yang membuat saya bangga menjadi bagian dari salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Ya, meskipun belum menjadi pengurusnya. Namun, paling tidak sejak duduk di Madrasah Ibtidaiyah (MI) hingga Madrasah Aliyah, pendidikan yang saya tempuh berada di lembaga pendidikan naungan NU.

Setahun yang lalu, lebih tepatnya ketika saya masih duduk di bangku kelas 12 MAN 3 Jombang, saya membaca buku berjudul "Fikih Kebangsaan KH. Abdul Wahab Chasbullah" karya Dr. Miftakhul Arif, M.H.I. Buku tersebut berisi mengenai bagaimana perjalanan hidup dan kiprah dari KH. Abdul Wahab Chasbullah, seorang inisiator NU, dalam menghadapi tantangan pada masanya. Dari sebelum Indonesia merdeka hingga setelahnya, yang mana beliau mendapat tantangan berat dari berbagai sisi, mulai dari sisi kiri yakni komunis-sosialis dan kanan yakni Wahabisme dan radikalisme. Ditambah situasi ekonomi yang sulit, konflik sosial dan politik yang kacau. Dalam kondisi tersebut KH. Wahab bukan hanya mampu bertahan, bahkan beliau mampu memenangkan ide-idenya hingga tumbuh subur dan mengalahkan semua ideologi yang ada.

Adapun mayoritas isi bab buku tersebut menjelaskan tentang konsep fikih dalam konteks kebangsaan dan persatuan hingga penerapan Ushul Fiqh yang sesuai dengan kultur Indonesia menurut KH. Wahab, dimana ide ini mendapat pertentangan dari berbagai kelompok, namun pada akhirnya ide beliau dapat diterima secara luas dan tertulis dalam bait syi'ir yang terkenal dengan nama "Yalal Wathan, Minal Iman" (Cinta Tanah Air, Manifestasi dari Iman).

Dari situ saja sebenarnya sudah sangat membanggakan bukan? Akan tetapi, ada hal lain yang sangat-sangat membuat saya terpukau bahkan hingga hingga kini pun, saya menjadi orang yang sangat bangga dengan Nahdlatul Ulama'.

Jika ditanya, memangnya apa sih yang bikin kamu bangga sekali dengan NU?

Kamu nanyea? Kamu bertanya-tanya? Biar aku kasi tau ya!

Jadi, hal luar biasa yang saya temukan ada dalam bab 3 buku tersebut. Disana penulis mengutip sebuah peristiwa menarik mengenai perdebatan KH. Abdul Wahab Chasbullah dengan Kiai Asnawi Kudus. Dikisahkan bahwa Kiai Wahab berdebat dengan Kiai Asnawi Kudus perihal model seragam pandu Ansor yang menggunakan celana pendek, dimana dalam pandangan fiqh hal itu ialah membuka aurat. Kiai Asnawi meminta kepada KH. Wahab sebagai penanggungjawab agar mengubah pakaian pandu Ansor. Namun, KH. Wahab tidak setuju dengan usulan Kiai Asnawi Kudus, meskipun Kiai Asnawi sempat mengancam akan keluar dari NU jika usulannya tidak diakomodir. KH. Wahab tetap pada pendiriannya tentang seragam pandu Ansor.

KH. Abdul Wahab Chasbullah

Peristiwa itu menimbulkan pertanyaan besar pada KH. Bisri Syansuri yang ketika itu ikut mengantar dan sekaligus mendengarkan perdebatan KH. Wahab dengan KH. Asnawi Kudus. Pada suatu hari KH. Bisri Syansuri sowan ke kediaman KH. Abdul Wahab Chasbullah dan mempertanyakan sikap KH. Wahab yang menolak usulan KH. Asnawi, meskipun beliau sempat mengancam akan keluar dari NU.

KH. Wahab menjelaskan, "Begini, saya tidak khawatir jika KH. Asnawi itu keluar dari NU, sebab beliau Kiai alim dan wara'. Beliau akan tetap jadi orang shaleh walaupun tidak bergabung dengan NU. Tetapi saya berfikir bagaimana anak muda kita kalau tidak bergabung dengan Ansor. Mereka akan dipengaruhi pola hidup penjajah atau akan ikut gerakan PKI. Hal ini yang saya fikirkan sampai gelisah,"

"Maka, bagi saya untuk sementara biar itu berjalan, dan ketika para pemuda itu sudah masuk dalam komunitas Ansor, maka secara perlahan-lahan pemuda itu akan menjadi santri".

"Maka, bagi saya untuk sementara biar itu berjalan, dan ketika para pemuda itu sudah masuk dalam komunitas Ansor, maka secara perlahan-lahan pemuda itu akan menjadi santri." — KH. Wahab

Sikap KH. Wahab itulah bagi saya menjadi sebuah jawaban yang sangat luar biasa dari seorang inisiator Nahdlatul Ulama'. Kata-kata KH. Wahab seperti menunjukkan prinsip Nahdlatul Ulama' yang luhur hingga mengetuk hati dan pikiran saya saat itu. Dimana, organisasi yang pada umumnya selalu diperbudak oleh pemimpinnya, organisasi yang selalu mementingkan jumlah anggota daripada prinsip, mementingkan keuntungan duniawi semata, saat itu juga KH. Wahab secara tidak langsung menunjukkan pada kita bahwa NU bukan sembarang organisasi yang selalu dan selalu tentang jumlah anggota, jumlah keuntungan, dan lain sebagainya. Lebih dari itu Nahdlatul Ulama' adalah organisasi yang mengemban misi menjaga, melestarikan, mengembangkan, mengajarkan ajaran Ahlussunah wal Jama'ah, dimana dalam fiqh mengikuti salah satu dari 4 Mazhab.

Dalam Aqidah mengikuti Imam Abu Musa al-Asyari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi. Dalam bidang Tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Prinsip luhur inilah yang kemudian tertuang dalam khittah Nahdliyah pada tahun 1984, dalam khittah Nahdliyah tersebut pula terdapat 4 prinsip Nahdlotul Ulama' yakni tawassuth (sikap tengah), i'tidal (adil), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang) yang mana keempat hal ini terus mengawal jalannya organisasi Nahdlatul Ulama' mengayomi masyarakat Indonesia.

Prinsip luhur NU tersebut sampai sekarang masih tetap dijalankan dengan teguh oleh para Kiai-Kiai setelahnya, perjuangan KH. Wahab dan pemikirannya seolah selalu mendampingi para generasi penerus Nahdlatul Ulama' sampai sekarang. Sebuah organisasi yang hebat adalah organisasi teguh menjaga prinsip tujuan organisasi itu sendiri. Semoga Nahdlatul Ulama' selalu menjadi organisasi keislaman yang toleran, moderat, selalu menebar rahmat, serta menjaga keutuhan dan kesatuan Negara Republik Indonesia dari semua faham extrimis maupun liberal, mencetak generasi Islam Ahlussunah wal Jama'ah yang berwawasan luas, dan tidak larut oleh perkembangan zaman. Akhir kata dari saya, Allah  robbul 'alamin, Rasulullah  rahmatal lil 'alamin, NU ma'al 'alamin.

Ditulis dalam rangka memperingati Satu Abad Nahdlatul Ulama'.

0 Komentar