Absurditas Seorang Aktivis dan Akademisi

Ditulis oleh: Samsul Arifin

Editor: Merina Puspita

Absurditas Seorang Aktivis dan Akademisi
Ilustrasi aktivis|Sumber: strategi.id

Istilah aktivis secara umum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang (terutama anggota organisasi politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa,wanita) yang berkerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan dalam organisasi. Di dalam organisasi mereka melakukan sebuah gerakan-gerekan untuk bertujuan mencapai visi dan misi organisasi mereka secara aktif, baik itu mereka menempati posisi struktural ataupun tidak, pengurus inti ataupun anggota biasa. Selama mereka aktif atau terlibat dalam gerakan-gerakan yang merujuk pada pencapaian misi dan visi, maka dia disebut sebagai aktivis.

Begitu juga dengan seorang akademisi merupakan orang yang memiliki pendidikan atau pengentahuan yang luas, mampu memahami banyak teori-teori dan aktif di berbagai kegiatan keilmuan dan mentransformasikan pengetahuannya dan menyebarluaskannya kepada orang lain. 

Kata aktivis dan akademisi merupakan dua kata yang selalu melekat pada tubuh seorang mahasiswa, tugas mahasiswa tidak hanya sekedar belajar di perguruan tinggi tetapi harus mampu mengaplikasikan dengan baik apa yang di dapatkan di ruang-ruang kelasnya. Kalau kita ingin menyadari dengan sesadar-sadarnya tugas pokok dan fungsi seorang mahasiswa tidak bisa mengelakkan diri kita hanya ingin menjadi seorang aktivis ataupun akademisi saja. Karena keduanya merupakan hal yang tak mungkin kita pisahkan. Seperti apa yang dikatakan oleh Wiji Tukul, “Apa guna banyak baca buku kalua mulut kau bungkam melulu?"

Gelar aktivis itu merupakan gelar yang sangat keren meskipun kerap kali mendapatkan pertentangan dan mengalami intimidasi karena aktivis itu sangat menakutkan bagi sebagian orang terutama oleh birokrasi-birokrasi kampus dan pemerintah. Seorang aktivis akan selalu berhadapan dengan tekanan-tekanan karena keberaniannya membongkar kelicikan dan kebusukan para pemangku kebijakan dan keseriusannya dalam mengawal setiap ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat ataupun kebijakan yang bertentangan dengan keadilan itu telah dibuktikan dengan sejarah gerakan-gerakan para aktivis yang puncak nya berada di tahun 1998 yang mampu menumbangkan oligarki dengan semangat reformasinya. 

Seorang aktivis mampu berpikir kritis dan menjaga idealisme ia tidak mudah di intervensi oleh siapa pun sekalipun nyawa yang menjadi ancamannya. Kita tentu masih inget dengan Soe Hok Gie, Tan Malaka, dan Wiji Tukul juga beberapa aktivis lainnya yang kematiannya sangat tragis.  Mereka semua tidak bisa ditekan, diancam dan ditakut-takuti, bagi mereka tidak ada yang mampu mengintervensi kecuali pikirannya sendiri dan tidak akan pernah berkompromi dengan para pelajur kebijakan, Soe Hok Gie dan Tan Malaka merupakan dua tokoh aktivis  yang tidak mau berkompromi dengan para Impelerealis dan juga para pelajur kebijakan. Soe Hok Gie pernah mengatakan bahwa dirinya lebih baik diasingkan dari pada harus berkompromi dengan ketidakadilan.

Namun, melihat fenomena yang terjadi saat ini banyak mahasiswa yang mengaku dirinya sebagai aktivis dan mengaku akademisi tetapi mereka tidak pernah menciptakan suatu gerakan dan perlawanan yang serius bahkan mereka enggan untuk melakukan aksi turun jalan, begitu juga dengan mahaisiswa yang mengaku dirinya seorang akademisi mereka tidak memiliki gagasan pembaharuan untuk menciptakan peradaban bahkan mereka enggan untuk melakukan suatu kegiatan diskusi dan membangun literasi yang terjadi hari ini hanya sekedar gimik saja. Mahasiswa sekarang enggan untuk baca buku, minim gagasan dan hanya sekedar narsis saja tak ada yang betul-betul eksis atau yang disebut dengan aktivis organik atau intelektual organik.

Beberapa kali saya mengamati dan menilai kegiatan para aktivis-aktivis mahasiswa itu hanya sebatas nama saja. Tidak ada yang kemudian bergerak atas kesadarannya dan hati nuraninya. Sekalipun mereka kerap kali tergabung dalam organisasi dan mengatasnamakan rakyat. “Demi keadilan dan kesejahteraan rakyat mari kita lawan ketidak adilan dan kebobrokan pemerintah ini."

Tetapi, itu hanya kata-kata saja untuk mengelabuhi massa aksi bukan atas dasar kesadaran dan kepekaan dirinya akan persoalan-persaoalan yang benar-benar terjadi di masyarakat. Bahkan mereka hanya tuntutan kepentingan electoral dan menjadi antek-antek seniornya saja.  Gerakan aktivis hari ini hanya atas dasar perintah senior A,B,C dan seterusnya, bukan atas dasar pikirannya, bukan karena analisanya dan pengetahuannya. 

Padahal seorang aktivis itu harus memiliki prinsip dan teguh terhadap pendiriannya sendiri dengan pikirannya sendiri. Sehingga mari kita kembalikan nama aktivis dan akademisi pada prinsip dasarnya agar kita bisa menciptakan perubahan dan peradaban untuk menunjukkan bahwa kita masih hidup dan bergerak atas pikiran kita bahwa kita tidak bisa di intervensi oleh siapapun termasuk Tuhan sekalipun!



0 Komentar