Melintasi Batas: Meretas Jalan Menuju Keseimbangan Ekologis dan Keadilan Gender dengan Ekofeminisme

Ditulis oleh Caca
Editor: Advy
Gerakan Chipko oleh perempuan di India untuk melindungi keseimbangan ekologi tradisional | LPM Arrisalah
Ilustrasi Gerakan Chipko oleh perempuan di India untuk melindungi keseimbangan ekologi tradisional | Sumber: blogs.ntu.edu.sg
Dalam era yang diwarnai oleh tantangan lingkungan dan ketidaksetaraan gender, perspektif baru muncul sebagai titik pijak untuk memahami dan mengatasi permasalahan kompleks ini. Ekofeminisme, sebuah gerakan sosial yang menghubungkan isu-isu lingkungan dan isu-isu perempuan, telah menjadi alat penting untuk menjembatani kesenjangan dan meretas jalan menuju keseimbangan ekologis serta keadilan gender.

Ekofeminisme muncul sebagai respon terhadap pola dominasi ganda, baik terhadap alam maupun terhadap perempuan. Pemahaman ini menolak dualisme tradisional yang memisahkan manusia dan alam, serta perempuan dan laki-laki. Ekofeminisme mengeksplorasi keterkaitan dalam peran perempuan dan alam sebagai pilar dasar gerakan ini.

Gerakan ini membawa perhatian pada pentingnya memahami dan mengatasi dampak destruktif industrialisasi dan kapitalisme terhadap lingkungan. Ekofeminis menyoroti nilai-nilai perempuan, seperti kepedulian dan ketelatenan, sebagai kunci dalam membentuk masyarakat yang berfokus pada keseimbangan ekologis.[1]

Keadilan Gender dan Pengelolaan Sumber Daya

Ekofeminisme mendukung partisipasi aktif perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam. Wanita sering bertanggung jawab atas pemeliharaan lingkungan rumah tangga, dan keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan dapat mendukung keadilan gender dan pelestarian lingkungan.[2] Salah satu novel yang mencerminkan situasi tersebut adalah "Amba" karya Laksmi Pamuntjak (2012), yang mengisahkan eksploitasi hutan dan sumber daya alam di Pulau Buru oleh para pendatang, berdampak pada kehidupan perempuan seperti tokoh Perempuan Kedua (Si Mukaburung). Sebagai contoh lain, "Namaku Teweraut" karya Ani Sekarningsih menggambarkan tradisi suku Asmat di Papua yang memaksa perempuan melahirkan didalam pondok khusus, di sebuah hutan. Sebab, kepercayaan masyarakat, bahwa darah pasca persalinan dapat membawa bencana. Dalam kedua novel ini, penderitaan dan kematian perempuan akibat eksploitasi alam menunjukkan dominasi patriarki terhadap alam, lingkungan, dan perempuan. Vandana Shiva (1988:19) menyatakan bahwa proyek pembangunan sering terkait dengan sistem patriarki Barat yang merugikan perempuan. Tanpa perlawanan terhadap kuasa patriarki ini, dapat terjadi kerusakan lingkungan dan penderitaan perempuan, bahkan berujung pada kematian.[1]

Pemberdayaan Perempuan dalam Pelestarian Lingkungan

Alam, seperti halnya dengan perempuan, bukankah benda mati, bukanlah objek yang boleh dan layak didominasi dan dieskploitasi. Oleh karena itu, dalam berinteraksi dengan alam dan perempuan, kita harus selalu menjaga harmonisasi dan tidak dibenarkan menganggapnya inferior dan subordinatif.[1] Salah satu aspek paling kuat dari ekofeminisme adalah penekanannya pada pemberdayaan perempuan dalam upaya pelestarian lingkungan. Dengan mengakui peran unik perempuan dalam konservasi, gerakan ini berusaha menciptakan ruang bagi suara-suara perempuan dalam perencanaan dan implementasi solusi berkelanjutan. Peran dan kepedulian perempuan terhadap lingkungannya memiliki dampak besar. Perempuan perlu berupaya secara kreatif untuk memotivasi laki-laki agar lebih peduli terhadap pekerjaan mereka. Di Irian Jaya, contohnya, orang-orang tidak memisahkan aktivitas ekonomi dari pengalaman beragam dengan alam. Perempuan di sana menggunakan puisi dan gerakan mengelilingi serta mendekap pohon sebagai cara menghentikan suami-suami mereka dari menebang pohon di hutan. Tindakan ini terbukti berhasil.[3]

Ekofeminisme dalam Sosial Konstruksi Pendidikan

Ekofeminisme merayakan peran aktivisme dan pendidikan dalam membentuk kesadaran lingkungan dan keadilan gender. Wanita menjadi agen perubahan melalui partisipasi mereka dalam gerakan lingkungan dan menyebarkan pengetahuan tentang keterkaitan antara isu-isu perempuan dan alam. Aliran ekofeminisme ini memiliki perspektif yang unik karena percaya bahwa mengurangi interaksi dengan alam adalah suatu tujuan yang penting. Mereka meyakini bahwa perempuan memiliki keunikan sebagai produk budaya dan dalam konteks sosial. Oleh karena itu, aliran ini berupaya merestrukturisasi pembagian peran antara perempuan dan laki-laki dalam struktur sosial masyarakat, bertujuan untuk mencegah dampak merugikan terhadap perempuan.[4]

"Melintasi Batas: Meretas Jalan Menuju Keseimbangan Ekologis dan Keadilan Gender dengan Ekofeminism" menggambarkan urgensi untuk mengadopsi pandangan holistik dalam mengatasi tantangan lingkungan dan ketidaksetaraan gender. Konsep dari ekofeminisme memberikan landasan konseptual yang kuat untuk menjembatani kesenjangan ini, dan melalui pemahaman dan aksi bersama, kita dapat mencapai keseimbangan yang lebih baik antara manusia, alam, dan gender.


Referensi:

[1] Wiyatmi, M. Suryaman, and E. Swatikasari, Ekofeminisme: Kritik Sastra Berwawasan Ekologis dan Feminis. 2017.

[2] I. Wijayanti, N. Kusuma, O. P. I, and N. Juniarsih, “Gerakan Ekofeminisme Dalam Pemberdayaan Perempuan Pengolah Limbah ( Studi Kasus Komunitas Pengolah Limbah di Desa Narmada ),” Resiprokal, vol. 1, no. 1, pp. 40–52, 2019.

[3] T. M. P. Astuti, “Ekofeminisme dan peran perempuan dalam lingkungan,” Indones. J. Conserv., vol. 1, no. 1, pp. 49–60, 2012.

[4] R. Yudiswara Ayu Permatasari and G. A. Siswadi, “Ekofeminisme Di Indonesia : Sebuah Kajian Reflektif Atas Peran Perempuan Terhadap Lingkungan,” Purwadita J. Agama dan Budaya, vol. 6, no. 1, pp. 59–70, 2022.


0 Komentar