Tukar Guling Kepentingan dalam Revisi UU Desa, HMP Hukum Inisiasi Diskusi dan Dialog Terbuka

 

Diskusi dan dialog terbuka UU Desa bersama HMP Hukum UINSA_LPM ARRISALAH
Diskusi dan dialog terbuka bersama HMP Hukum UINSA

Arrisalah― Polemik Undang-undang Desa hingga saat ini masih menjadi perhatian bagi para akademisi dan juga masyarakat. Munculnya keterlibatan politik dalam pembuatan UU dan Pemerintahan Desa tentu tidak dapat dihindari, termasuk dalam revisi UU Desa. Penyusunan revisi yang didasari dengan "tukar guling" untuk kepentingan para peserta pemilu dapat disalahgunakan untuk melanggengkan kekuasaan di desa.

"Penyusun perundang-undangan, para stakeholder, partai politik dengan orang-orang yang ada di desa, kepala dan perangkat desa ada barter politik," ujar Dr. Riza Multazam Luthfy, S.H., M.H. sebagai narasumber dalam diskusi dan dialog terbuka yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Prodi Hukum pada Kamis, (18/4/24) di Lantai 4 Gedung A Fakultas Syariah dan Hukum UINSA.

Mengingat ribuan kepala desa melakukan aksi unjuk rasa di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 31/1/24 yang meminta agar DPR segera mengesahkan revisi UU Desa sebelum Pemilu 2024 dengan beberapa tuntutan yakni:

  1. Asas Pengaturan Desa dalam UU No. 6 Tahun 2014 benar-benar diterjemahkan secara detail dalam setiap pasal termasuk aturan-aturannya yaitu rekognisi dan asas subsidioritas.
  2. Dana desa ditetapkan sebesar 10 persen dari APBN bukan 10 persen dari dana transfer daerah. 
  3. Masa jabatan kepala desa 9 Tahun 3 periode dan/atau 9 Tahun 2 periode dengan pemberlakuan surut bagi kepala desa yang sementara menjabat saat revisi UU disahkan.
  4. Pemilihan kepala desa secara serentak wajib dilaksanakan oleh Bupati/Walikota.
  5. Kepala desa, BPD dan Perangkat desa mendapatkan penghasilan berupa gaji/tunjangan tetap bersumber dari Dana Desa/APBN serta tunjangan purna tugas dihitung dari lama dan masa pengabdian.
  6. Yurisdiksi wilayah pembangunan kawasan desa.
  7. DAK (Dana Alokasi khusus Desa).
  8. Pejabat kepala desa diangkat melalui musyawarah desa.
  9. Pemilihan kepala desa bisa diikuti oleh calon tunggal.
  10. Dana operasional Kepala Desa sebesar 5 persen dari dana desa
  11. Tunjangan kepala desa perangkat desa dan BPD.
  12. Kekayaan milik desa berupa aset lahan atau penyerahan yang bersifat tetap dari pemerintah pusat/daerah BUMN dan swasta.

Dijelaskan juga oleh narasumber, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa statistik potensi desa di Indonesia pada tahun 2021 terdapat puluhan ribu desa yang memiliki potensi ekonomi dan mendukung ekonomi nasional. Alokasi dana desa yang diberikan pemerintah untuk desa per tahun nya sekitar 600-900 juta, dana desa tersebut digunakan untuk pendanaan penyelenggaraan pemerintah desa, pengembangan infrastruktur desa, pemberdayaan masyarakat dan kegiatan kemasyarakatan. 

Faktanya memang pada beberapa kasus yang terjadi di Indonesia terdapat oknum kepala desa yang justru mengkorupsi alokasi dana desa. Sehingga, anggaran desa yang sudah direncanakan tidak sesuai rencana. Dalam pemaparannya, narasumber pun menyampaikan beberapa langkah untuk mengatasi hal tersebut yakni dengan beberapa cara seperti : 

  1. Transparansi dalam pengunaan dana sangat penting. Kepala desa harus menyediakan laporan rinci tentang penggunaan dana kepada masyarakat desa. 
  2. Pengawasan dan akuntabilitas, pengawasan efektif dari pengguanaan dana kepada masyarakat.
  3. Partisipasi masyarakat, dengan melibatkan masyarakat desa dalam proses pengambilan keputusan terkait penggunaan dana desa. Ini akan membantu memastikan bahwa dana tersebut digunakan untuk proyek yang benar – benar dibutuhkan oleh Masyarakat.

Saat ini, revisi UU Desa telah disetujui tingkat I dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada Februari lalu. Salah satu poin krusial dalam revisi UU itu kini mengatur masa jabatan kepala desa menjadi 8 tahun maksimal 2 periode.

"Ada 2 hal yang paling harus disoroti dalam UU Desa yang baru yaitu masa jabatan dan dana tunjangan. Kalau menurut saya masa jabatan ini agak fishy ya, memang sebelumnya 6 tahun dengan maksimal 3 periode, nah sekarang 8 tahun walaupun cuma 2 periode, masalahnya 8 tahun itu terlalu lama dan terlihat sekali kalau dipanjangkannya masa jabatan menjadi 8 tahun itu buat ngawal proyek titipan," ucap Ken Zidny, Ketua HMP Hukum UINSA. (Caca)

Editor: Alfian Muslim P.





0 Komentar