Sejak Rancangan Undang-Undang MPR, DPR, DPRD dan DPD (RUU MD3)
disahkan menjadi UU pada 12 Februari 2018 lalu, kecaman protes semakin
keras dan deras dari unsur masyarakat, akademisi juga tentunya praktisi.
Menjadi pertanyaan besar adanya ketidak sinkronan antara rakyat dengan
wakil rakyat atas aturan yang seharusnya dibutuhkan. DPR sudah
kehilangan marwah atas representasi masyarakat. Bukan hanya dalam dunia
nyata atas penolakan UU tersebut, masyarakat juga menunjukkan bukti
keseriusannya atas penolakan itu perantara media sosial dengan adanya
petisi UU MD3 yang hampir 200.000 warga net menolak dalam kurun waktu
satu minggu. Penolakan luar biasa oleh objek aturan yang diberlakukan
itu menjadi keharusan evaluasi bagi subjek aturan itu dikeluarkan.
Menelisik sejarah yang kiranya berkaitan dengan pasal dalam UU yang
kontroversial itu. Bahwa, dulu ketika hak angket KPK oleh DPR terjadi,
menjadi persoalan yang sengit diantara keduanya, saling mencari celah
dan kesalahan atas pihak yang bersangkutan. Sehingga ketika DPR
memanggil KPK kerapkali diabaikan begitu saja olehnya. Alasan yang logis
tentu saja dapat selamat dari sergapan paksa DPR karena memang DPR
tidak mempunyai kewenangan hal demikian dengan disertai tidak adanya
regulasi yang mengaturnya. Hingga DPR meminta Polri memanggil paksa KPK
untuk bisa menghadiri panggilan dari DPR itu sendiri, namun Polri
menolak. Hal inilah salah satu ide dikeluarkannya pasal 73 dalam UU MD3
yang kontroversial sebagaimana yang dikemukakan oleh pakar hukum tata
negara Prof. Mahfud MD di Indonesia Lawyer Club (ILC).
Pemanggilan paksa sebagaimana yang dimaksud di pasal tersebut,
tentulah mencakup keseluruhan dalam situasi dan kondisinya. Padahal
panggilan paksa tentu tidaklah sembarang memanggil sesuka hati
legislatif. Batasan dalam garis koridor tentulah ada, kapan bisa
memanggilnya secara paksa orang yang mengetahui suatu peristiwa sehingga
keterangannya sangatlah dibutuhkan yang tidak bisa tergantikan oleh
yang lain. Maka, disanalah boleh melakukan pemanggilan paksa karena
pertimbangan yang lebih mengarah kemaslahatan bersama. Jika pemanggilan
itu sebagai saksi ahli, tentulah orang yang bersangkutan bisa saja
menolak dan mengabulkan atas panggilannya karena itu menjadi hak
proreogatif perseorangan yang bersangkutan.
Dalam redaksi merendahkan kehormatan dan anggota DPR sebagaimana yang
terdapat di pasal 122 tentu sangatlah abstrak dan tak tepat. Dilain
sisi, memang frasa merendahkan itu sangat ambigu. Penilaian demikian
tentu masing-masing personal memiliki batasan atau kategori yang
berbeda-beda. Sehingga acap kali pembentukan pasal itu bukanlah untuk
payung hukum khalayak publik dalam kebebasan berekspresi, melainkan
payung berteduh untuk DPR itu sendiri agar tidak dihujani kritik oleh
masyarakat. Anggapan dengan mudahnya orang yang mengkritik dengan
penilaian subjektifnya akan mengarah ke redaksi yang ada di pasal
tersebut. Tentu juga masyarakat menjadi terkekang nan tercengang dengan
adanya pasal ini.
Bukan sulap bukan sihir, namun keajaiban itu mengalir. Bagaimana
tidak demikian, pasal 245 yang sudah pernah dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi (MK) dengan bukti amar putusan nomor 76/PUU-XII/2014 itu
malah muncul kembali dengan ingin mempersumbat proses peradilan oleh
legislatif yang tersandung tindak pidana, sehingga jelas bertentangan
dengan prinsip judicial independent, prinsip equality before the law,
dan prinsip non-diskriminasi yang dijamin oleh Pasal 24 ayat (1), Pasal
27 ayat (1), Pasal 28D ayat(1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Dilain
sisi, hal yang paling mudah untuk memandang perihal ini tidaklah tepat
bahwa MKD itu lembaga etik dari pihak internal sendiri, bukanlah lembaga
yuridis yang tentu dijamin oleh aturan yang ada dalam proses penegakan
hukum.
Lembaga eksekutif dengan legislatif memang sudah seharusnya saling
terjalin komunikasi dengan baik, agar ketidak sejalanan komunikasi itu
tiada. Konsistensi dalam ucapan juga tindakan tetaplah dipegang erat
agar tidak terjadinya bersitegang diantara keduanya. Sudah tentu jelas
masyarakatlah yang menjadi dampak jika hal ini terjadi. Terbukti dengan
adanya statament dari Fadli Zon yang menyesalkan presiden
karena tidak mau menandatangani UU MD3, tentu cukuplah disayangkan
karena RUU pada sidang paripurna Presiden menyetujuinya yang pada saat
itu diwakilkan oleh Menkumham. Pernyataan tersebut secara garis besar
sejalan dengan bunyi pasal 65 UU No. 12 Tahun 2011 dalam keiukut sertaan
Presiden atau menteri yang mewakilinya dalam pembahasan RUU itu
sendiri.
Tindakan demikian oleh Presiden pastinya mempunyai alasan sendiri,
bukan tidak mau diajak kerjasama dalam membuat suatu produk UU melainkan
mempertimbangkan atas diberlakukannya produk UU tersebut bisa
menurunkan kualitas demokrasi. Mengingat penolakan masyarakat yang
begitu dahsyat menjadikan Presiden harus putar balik atas persetujuan
awal yang telah dikemukakan. Apresiasi dari masyarakat terkait hal ini
memanglah hal biasa, yang luar biasa itu meskipun tanpa adanya
persetujuan/penandatanganan Presiden, UU tersebut tetap bisa berlaku
setelah 30 dari penetapan itu. Tak terjadinya masalah, karena terkait
hal ini memanglah dijamin dalam konstitusi sebagaimana yang terdapat di
pasal 20 ayat 5 UUD 1945.
Bagaimana tidak raja tega, bahwa produk yang dikeluarkan oleh
legislatif membegal demokrasi di bumi pertiwi ini. Bukan lagi membegal
kebebasan rakyat namun juga membegal asas-asas yang seharusnya menjadi
pegangannya dalam meproduksi suatu produk undang-undang. Sehingga tentu
tidak sejalan dengan apa yang dibutuhkan di masyarakat. Asas
kedayagunaan dan kehasilgunaan pastilah tiada, jika memang itu ada maka
tanpa adanya peristiwa penolakan luar biasa oleh masyarakat. Asas
tersebut dipelintirkan oleh kesubjektivitasan pihak legislatif, bukan
lagi objektivitas masyarakat lagi.
Akhirnya, bolehlah undang-undang itu tetap berlaku meskipun tanpa
adanya persetujuan Presiden dengan tenggang waktu yang telah diatur oleh
konstitusi. Namun secara nomenklatur itu produk undang-undang yang
impoten. Keberadaannya seperti tiada, justru karena keberadaannya itu
menimbulkan malapetaka akan dunia demokrasi ini. Penulis mengatakan
demikian karena di dalam Pasal 1 ayat 3 UU No. 12 Tahun 2011 yang
dimaksud UU adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR
dengan persetujuan bersama Presiden. Terlalu kecil jika menilai
permasalahan ini tidak sejalan lagi dengan ketatanegaraan yang ada di
Indonesia, melainkan melukai kesepakatan (resultante) dari hukum yang secara garis besar dari makna ketatanegaraan itu sendiri. Segera Pertimbangkanlah wahai wakilku disana!!!
Penulis: Mat Bahri, Mahasiswa HTN FSH UINSA
0 Komentar