Oleh : Afif Sulaiman
“Teng. Teng. Teng..teng..” terdengar keras suara lonceng dari setiap
sudut kelas disekolah, para siswa mulai berhamburan, saling bercanda
saat melewati lorong-lorong, sebagian lagi ada yang bersandar berlari
dan bercengkrama sebatas membahas pelajaran tadi atau kegiatan setelah
pelajaran usai.
Namaku Omar hashem, seorang siswa di Ma’had Arafat, sebuah madrasah
kecil di sudut Desa Sujjaiyah, Kota Raffah, Palestina. Jumlah siswa di
Ma’had Arafat hanya 100 siswa, terdiri atas 60 laki-laki dan 40
perempuan. Mereka semua tinggal di asrama yang disediakan oleh pengelola
sekolah kami. Untuk siswa laki-laki bertempat tinggal di Gedung Abu
Mousah dan untuk Perempuan di Gedung Al-Maryamah.
Gedung Abu Mousah dan Al-Maryamah terletak berseberangan, hanya
terpisah oleh Masjid Imam Shalahudin saja. Semuanya lengkap, begitu juga
dengan aturan tata tertib, karena ma’had tersebut merupakan ma’had yang
menghasilkan para pengahafal Al-Quran. Masing-masing aturan yang
diterapkan termasuk lumayan ketat, termasuk dalam hal pergaulan antara
laki-laki dan perempuan yang terdapat sekat pemisah yang tegas.
“Goool !!” sorak sorai terdengar lagi, setiap sore setelah ashar para siswa putra banyak yang bermain bola di depan masjid.
“Sial… ayo kita balas lagi gol mereka ” seru satu diantara mereka.
“Ayo !” sahut yang lain. Aku melihat Esaam, salah satu sahabatku yang
terkenal keras kepala dan tak mau kalah bertingkah seperti biasanya
saat ia merasa tertekan. Ia sebagai kapten tim tak terima dengan gol
yang di cetak Nasser, Essam mulai kembali menggiring bola ia lewati satu
persatu lawannya namun sayang, di wilayah gawangku masih ada Saief
sehingga mereka saling berhadapan.
“yah kau lagi ief ..”, Essam menghela nafas
“Kenapa saam ?” tanya Saief dengan senyumnya yang khas dan tampak
gigi tengahnya yang ompong karena patah saat berkelahi melawan Essam
dulu. Aku ingat betul peristiwa itu, karena akulah yang memisah mereka
berdua saat berkelahi dan hidungku sempat berdarah lantaran terkena
pukulan salah satu dari mereka. Kejadiannya tepat sekitar dua bulan
setelah kami mulai tinggal di Ma’had ini.
Meskipun keduanya masih sering terlibat perkelahian kecil, namun
dalam pesoalan bermain bola justru terbalik, keduanya sangat sportif dan
bersahabat, itulah yang membuat Saief tersenyum.
Ketika Essam menguasai bola, teman-temannya yang bertindak sebagai
lawan masih di belakang garis pertahanan, menjaga agar tidak diserang
Tim Essam yang tengah berupaya membalas ketertinggalan. Mau tak mau
Essam harus bisa melawatinya kalau ia ingin membalas gol tadi dan
menyeimbangkan kedudukan.
Sore itu para murid seperti biasanya mengisi waktu senggang usai
penat berkutat dengan urusan ma’had. Ada yang bermain bola, basket,
volly sementara yang perempuan mereka bercanda di serambi asrama hingga
menjelang petang, kami tahu kalau sudah pukul lima lebih. Sudah saatnya
siswa maupun siswi bergegas mengantri mandi dan makan lalu berkumpul di
masjid dilanjut bermurojaah sampai adzan magrib berkumandang. Aku,
Saief Essam, Nasher dan Zuddin selalu bersama dalam aktivitas mengaji
dan belajar hingga pukul 9 malam, begitu dan seterusnya hampir setiap
hari,
“Teng ..teng..teng.. teng” lonceng berbunyi tepat pukul 3 pagi,
seperti biasa, anak-anak terbiasa bangun sebelum Subuh untuk
melaksanakan Sholat Tahajud, kemudian dilanjutkan muroja’ah dan sholat
berjamaah. Setelah itu, Aku, Esaam serta yang lainnya mandi dan
bersiap-siap mengikuti pelajaran di sekolah, tapi hari ini ada yang
berbeda.
Ya, hari ini ada agenda sekolah kami mengunjungi Tel As-Sultan, salah
satu kamp pengungsi Palestina di Jalur Gaza. Kamp ini terletak di
daerah utara Rafah, dekat perbatasan Mesir. Kamp ini didirikan oleh
Otoritas negara kami sejak tahun 1949. Sementara itu, tujuan sekolah
kami berkunjung di kamp tersebut adalah untuk mengadakan acara
kepedulian sosial untuk menghibur dan memotivasi anak-anak pengungsi
sekaligus membantu semampu kami.
Pukul 6.00 pagi, bus sudah siap didepan gerbang sekolah kami,
anak-anak sangat antusias dan satu persatu masuk bus setelah diberi
komando dan diabsen satu persatu oleh Guru kami.
“Yang terakhir Shaief Ahmed..?” panggil Pak Zayed, guru di sekolah kami.
“Hadir pak..” jawab Saief sambil mengangkat tangan.
Setelah semua murid dan guru dipastikan sudah menaiki bus, sopir pun mulai menjalankan bus tersebut.
Jarak tempuh dari Jasiaah ke Tel as-sultan sekitar 40 mil, dan
membutuhkan waktu hampir 2 jam. Hari itu langit sangat cerah dan sedikit
panas sebagaimana iklim di Timur Tengah pada umumnya. Kali ini aku
duduk di kursi belakang bersama teman-temanku, ada Zuddin dan Saief pula
disana.
Sepanjang perjalanan, tampak bangungan-bangunan tua dan tak terawat
bekas perang masih sering kami jumpai. Kami bercengkrama, bercanda dan
membahas cerita-cerita lama tentang kota yang kami lewati.
Kali ini kutumpahkan air minum dengan sengaja kearah Zuddin yang
duduk tepat disamping Nasher, aku langsung pura-pura tidak tahu, Nasher
yang dari tadi tertawa kali ini mendapat teguran dari pak Zayed, ia yang
dituduh menumpahkan air tadi. Essam menahan tawa begitu pula dengan
Zuddin dan Saief.
Tiba-tiba. Terdengar suara dentuman tak jauh dari kendaraan kami “booooom…” kami tersentak akibat suara dentuman tersebut
“suara apa itu tadi ?” tanya Essam. Semua pun bertanya-tanya
termasuk aku yang sedang pura-pura tidur langsung terjaga, bus kami
berhenti, para guru keluar mencoba memeriksa dari mana datangnya suara
tadi.
“dimohon para murid tetap tenang dan di dalam saja jangan ada yang
keluar, biar saya dan Pak Hashen saja yang keluar ” ujar Pak Zayed
mencoba menenangkan situasi.
Tak lama berselang, dalam sekejap seolah pisau membelah kain, asap
rudal tepat diatas bus kami itu terlihat dari jendela, para murid
tegang kecuali Essam, ia bahkan langsung saja keluar meski Pak Zayed
sudah menyuruh kami diam di dalam bus.
Tak tau apa yang terjadi, selama ini wilayah disini sudah aman dari
serangan Zionis Israel sejak tahun 2002 lalu, padahal kami belum sampai
di Tel as-sultan, hanya kurang beberapa mil lagi.
Terdengar pengumuman keras dari setiap tempat, pemerintah setempat
mengumumkan bahwa suara dentuman tadi adalah rudal Israel yang tepat
mengenai rumah sakit yang baru saja berdiri, letaknya dekat perbatasan
Tel as-sultan dan Rafah. Kunjungan kami terpaksa ditunda di tengah
perjalanan dan sementara ini kami berhenti di Desa Al-Bayuk, beberapa
mil dari Perbatasan Mesir, sekedar untuk mengantisipasi adanya rudal
susulan.
1 jam terpaksa berhenti dan harus kembali lagi, “ah hari ini kenapa
terjadi lagi ? apakah mereka benar-benar tak bisa menerima bangsa kami
hidup disini ? apakah kami tidak berhak atas suatu kedamaian di negeri
ini ?”Ujar Essam.
Ia mengatakannya seakan akan itu harapannya yang dulu pernah ia dapat
saat kedua orang tuanya menjadi korban pada tahun 2000 saat Essam masih
kecil, aku ingat saat mendapat cerita dari Saief yang telah menemaninya
sejak kecil, itupun hanya kami berlima yang tahu tentang masa lalu
Essam, tapi bukan hanya Essam saja sebenarnya, banyak dari teman-teman
kami lainya yang kedua orang tuanya menjadi korban dari tragedi
pembunuhan masal di Palestina. Dalam perjalanan pulang terdengar lagi
dentuman rudal Israel meledak, tetapi ini lebih keras dan dekat, asap
hitam mengepul didepan kami.
“Booom….” Dari kaca jendela yang terbuka lebar Essam menerawang
kembali keluar sana dengan begitu herannya. Kota ini dalam sekejap
menjadi mencekam. Orang orang berlarian, mobil ambulans hilir mudik
membawa korban ledakan ke rumah sakit terdekat. “Astaghfirullah..
Innalillah.. Allah.. Yaa Allah.. apa yang sedang terjadi disini ?”
Nasher yang dari tadi terdiam menjadi histeris.
Pak Jaffan, sopir bus kami,langung mengerem bus hingga penumpang
didalamnya saling terjungkal, dalam sekejap Desa Al-Bayuk yang kami
singgahi menjadi gelap dipenuhi oleh lalu lalang pesawat zionis.
Teriakan dimana-mana, takbir, istigfar, tahmid dan lainnya terdengar
dari teriakan warga sekitar, anak- anak kecil histeris meskipun tak tahu
pasti apa yang sedang terjadi.
“Allah, bagaimana bisa tanahmu yang mulia, yang Engkau sucikan dan
tempat dimana terlahir nabi-nabimu kenapa Engkau biarkan ternodai oleh
amunisi-amunisi orang-orang Zionis Yahudi yang zalim, Yaa Allah..”
gumamku dalam hati.
Ah . kepalaku berdarah ? sakit? Bingung ? Essam? Nasher, Saief,
Zuddin, anak-anak kelas 3 Pak Zayed ? Pak Hassem ? dimana mereka semua ?
arrrgh . tubuhku berat, aku sulit bergerak, reuntuhan tembok ini , aku
harus menyingkirkannya, aku harus mencari mereka , dengan tenagaku yang
ada akhirnya aku singkirkan juga reruntuhan di kakiku meski masih terasa
sakit. agaknya tulang kakiku patah, aku tidak tau apa yang menimpa
kami, terakhir ku ingat kami sedang membantu para korban di gedung DPO
yang dulu dibangun Yasser Arafat, saat itu kami ingin mengantar dan
mengevakuasi korban dengan bus kami. Tiba-tiba ada sebuah ledakan keras
didekat kami dan membuat kami terlempar hingga tak sadarkan diri.
“Essaamm !!!” . aku terus berteriak. Ah iya Esaam tadi berusaha
membantu yang ada di sebelah selatan gedung ini, semoga ia menjawab
teriakanku, “Zudiiin !! Nasheeeer !! dimana kalian ??” teriakku sekuat
tenaga dan berharap mereka membalas teriakanku.
Benar saja. Aku mendengar suara Essam. sepertinya Essam mendengar
suaraku, “ah rupaya Esaam disana”batinku. Lalu kudekati sumber suara
Essam tadi. Dan kulihat Ia seperti aku tadi diantara puing-puing gedung,
namun kali ini seluruh tubuh Esaam tertindih bekas runtuhan gedung
itu, dengan sekuat tenagaku aku berusaha menyelamatkannya .
“Kau baik-baik saja sam . ? ayo sini aku bantu”.aku berusaha
menolongnya dengan cara menyingkirkan puing-puing reruntuhan gedung tadi
dari tubuhnya.
“Bagaimana dengan Saieef, apa ia baik-baik saja ?” tanya Essam
kepadaku, lalu aku mengatakan bahwa Saief baik-baik saja, meski
sebenarnya aku melihat Saief sudah tak tertolong. dan yang lainnya
mereka mengalami luka-luka sepertiku.
“ayo sam kita kedepan kau akan mendapat peretolongan setidaknya obat
dan perban untuk luka-luka itu.” Saat kami sudah di tempat pengobatan.
Tiba-tiba Pak Zayed memanggil kami berdua. ia memberitahu bahwa
teman-teman kami masih ada yang belum ditemukan. Ada lima anak, termasuk
Zuddin, sahabat baik kami.
Essam terlihat sedih melihat temannya temannya kesakitan.
Kesedihannya semakin bertambah ketika melihat tubuh Saief ada di barisan
orang-orang yang tewas akibat serangan tadi, Esaam menangis. bagiku
wajar jika ia menangis sebab hanya Saief teman yang ia punya dan ia
anggap seperti saudara sendiri.
“mengapa ini terjadi lagi ?” ujar Essam tersedu-sedu. Diantara
tangisan Essam dan juga orang-orang yang kehilangan anggota keluarganya
ditempat itu, masih terdengar juga suara tank dan pesawat Israel
melintas di wilayah Al-Bayuk seolah tanpa merasa bersalah telah membunuh
puluhan orang.
“Sudahlah sam aku tahu, bagimu saief seperti saudaramu sendiri, tapi
sekarang ia adalah seorang mujahid, kau tak usah menangisinya Saief
adalah mujahid pemberani, ia mulia dengan mengorbankan dirinya untuk
membantu mereka” dengan batinku yang ikut menangis aku merasa sok tegar.
Kami hanya bisa berdoa dan memohon pada Tuhan kami, Yaa Allah,
bagaimana bisa ini tanahmu yang mulia, yang Engkau sucikan dan terlahir
nabi-nabimu disini. kenapa Engkau biarkan tanahmu ini ternodai oleh
amunisi-amunisi orang-orang Zionis yang zalimiYaa Allah.
0 Komentar