Oleh : Mariyatul Qibtiyah
Menyebut kata Bali atau provinsi Bali, maka yang
terlintas dalam benak orang adalah sebuah pulau dengan keindahan alamnya yang
memukau, budayanya yang unik, dan tentu saja umat Hindu-nya yang mayoritas. Bali
dikenal sebagai pulau Dewata, negeri Para Dewa. Identitas itu dilekatkan pada
pulau Bali, bukan hanya karena mayoritas penduduknya memeluk Hindu, namun juga
karena agama Hindu sedemikian melembaga dalam kebudayaan masyarakat Bali. Semua
aspek kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber
pada ajaran agama Hindu (I Gusti Ngurah Bagus dalam Koentjaraningrat 2004:
296). Hindu mewujud dalam berbagai dimensi kehidupan, mulai dari pandangan
hidup masyarakat Bali, seni-budaya, adat-istiadat, hukum adat, tata ruang, tata
bangunan, organisasi sosial kemasyarakatan tradisional, sampai sistem
pengaturan hidup bersama dalam komunitas. Aspek-aspek budaya ini merupakan
mosaik kebudayaan Bali dewasa ini (Ketut Wiana dan Raka Santeri 1993: 3—11).
Bali
adalah salah satu dari gugusan kepulauan nusantara kita, Indonesia tercinta. Meski Wilayah Bali
hanya berkisar 0,3 % dari seluruh luas daratan Indonesia namun hampir seluruh dunia
sangat familiar dengan bali. Popularitas Negara Indonesia saja seakan-akan
tersaingi oleh Bali. Bahkan, bisa
dikatakan bahwa Bali lah yang lebih dikenal. Selain itu, ada yang mengira bahwa bali itu
adalah negara. Hal ini pun disebabkan karena Bali populer sebagai destinasi
pariwisata Internasional, dan juga dikenal
sebagai tempat dimana minoritas muslim di negara yang disinggahi penduduk muslim
terbesar di dunia.
Mempelajari tentang serpihan-serpihan jejak Islam di bali ini dirasa penting sekali untuk dikaji, karena kita sama-sama
mengetahui bahwa sejarah lokal telah dikesampingkan dari wacana pembelajaran sejarah. Menyusuri jejak tentang sejarah
masuknya islam di Bali, ternyata
tidak sebagaimana cerita-cerita sejarah tentang masuknya islam di daerah lain.
Masuknya Islam di Bali memang agak berbeda.
Serpihan-serpihan jejak tentang masuknya Islam di
Bali dapat diketahui dari beberapa sumber-sumber lokal maupun sumber-sumber
asing. Menelusuri tentang keberadaan islam di Bali, dapat dilakukan dengan cara
menyimak tapak-tapak warna islam dengan kehadiran komunitas islam yang bermukim
berabad-abad di daerah Gelgel. Karena di Gelgel-lah komunitas isam pertama mulai lahir dan berkembang.
Beberapa kajian sejarah menunjukkan bahwa kampung Gelgel didirikan pada abad ke XIV yaitu
pada masa pemerintahan Dalem Ketut Ngulesir (1340-1460). Raja tersebut
melakukan kunjungan ke Kerajaan Majapahit, setelah kunjungan selesai maka ia
pun kembali dengan membawa 40 pengiring dari Majapahit yang ternyata semuanya beragama Islam. Mereka kemudian menetap
dan mengabdikan diri mereka untuk kerajaan Gel-Gel. Karenanya, mereka di
izinkan untuk singgah di daerah Gel-Gel
(yang lokasinya tidak jauh dari kerajaan).
Ini menandakan begitu dekatnya hubungan raja dengan 40
orang prajurit tersebut. Bahkan mereka sudah dianggap layaknya saudara, semeton
selam.
Dalam perkembangan selanjutnya wilayah ini berkembang menjadi sebuah
kampung karena diikuti oleh migrasi ke dua yang berjumlah 100 orang muslim. 100
orang muslim tersebut dipimpin oleh Dewi Fatimah yang merupakan utusan dari
kerajaan Demak. Utusan tersebut gagal mengislamkan Dalem Watu Renggong. Kaum
muslim anggota ekspedisi yang berjumlah sekitar 100 orang tidak diusir dan
justru diberikan kesempatan untuk memilih tinggal di Bali. Bahkan mereka diberi
pelungguhan (sebidang tanah Gel-Gel bahkan ditambah kampung Lebah). Seiring dengan berjalannya waktu, Kampung
Gelgel mengalami perkembangan, baik dari segi jumlah maupun aktivitas. Mereka
mengembangkan aktivitas di berbagai sektor seperti keagamaan, ekonomi, dan seni
budaya. Salah satu seni budaya yang dikembangkan oleh para leluhur Kampung
Gelgel yang merupakan titisan darah prajurit adalah Seni Rudat.
Kemudian,
serpihan-serpihan lainnya tentang islam turut digoreskan di Bali Pada Abad ke-XVII.
Pada abad ini Bali menjadi tempat-tempat persinggahan kapal-kapal yang berlayar
dari sebelah barat Indonesia menuju Maluku dan Nusa Tenggara. Hal ini
disebabkan karena Pelabuhan di Bali tersebut baik untuk mengisi air minum dan
mengangkut bahan makanan serta kain-kain yang berlimpah ruah dan murah. Banyak
pelaut yang melabuhkan kapalnya disana, termasuk saudagar-saudagar muslim yang
pada akhirnya turut menyebarkan islam di daerah tersebut.
Saat itu, suku bugis
dan Makassar di Sulawesi Selatan mulai menjadi muallaf. Dan karena ketuguhannya
pada agama islam maka kedua suku bangsa ini kemudian banyak mewarnai budaya
Islam di Bali. Warna-warna Islam di Bali
yang didatangkan oleh Suku Bugis dan Makassar dapat dibuktikan dengan
mengunjungi komunitas Suku Bugis dan Makassar di kampung-kampung muslim.
Kampung-kampung tersebut diantaranya yakni Kampung Suwung, Serangan, Gelgel,
Kusamba, Bulelang, Loloan Jembrana/ Negara. Di daerah-daerah inilah diduga
banyak menyimpan peninggalan peninggalan sejarah islam termasuk Mushaf al-Quran Kuno di Bali.
Kampung-kampung tersebut memiliki
peninggalan-peninggalan bersejarah, Namun, sayangnya banyak benda-benda
bersejarah tersebut disimpan di museum Belanda. Saat penjajahan Belanda,
benda-benda bersejarah itu dibawa kesana oleh Belanda. Pada saat ulang tahun
Kabupaten Klungkung yang ke 100, Pemerintah setempat berusaha untuk membawa
kembali benda-benda bersejarah itu, akan tetapi Pemerintah setempat harus
membayar uang Rp 3 miliar hanya untuk meminjam tombak selama 3 hari saja.
Adapun benda-benda bersejarah yang masih tersisa di Desa kampung Gelgel
(Kampung Islam pertama di Bali) sebagai berikut: Masjid Nurul Huda, Babad, Tari
Rudat, Pintu Menara, Mimbar, dan Makam.
Kesenian yang masih dilestarikan oleh warga kampung Islam,
contohnya seperti Tari Rudat, Kasidah, dan Barzanji. Tari Rudat selalu dipentaskan
setiap hari besar umat Islam, tujuan dipentaskannya tari Rudat ini bertujuan
untuk memupuk sermangat kebersamaan, silahturahmi, dan kreativitas generasi
muda. Kasidah biasanya di mainkan oleh laki-laki, maupun perempuan, biasanya
Kasidah ini dipentaskan 5-10 orang dan membawakan lagu-lagu berbahasa Arab,
Indonesia, dan bahasa Bali, Dan barzanji juga turut menjadi praktik dan bagian
dari tradisi masyarakat sejak awal islam datang.
Keberadaan komunitas Islam yang berdampingan dengan komunitas
Hindu memberikan gambaran kepada kita untuk hidup saling toleran sesama warga
Indonesia, Meskipun disana musim adaah minoritas namun terdapat banyak sekali
aspek-aspek budaya yang masih dilestarikan oleh masyarakat sekitar dan
dipentaskan saat hari-hari besar Islam, seperti Idul Fitri, Idul Adha, Maulid
Nabi Muhammad, Isra miraj dan hari besar Islam lainnya. Sebagai
komonitas Muslim yang sudah sejak lama ada, mereka cukup disegani oleh
masyarakat sekitar yang mayoritas agama Hindu. Mereka hidup rukun, damai, penuh
toleransi, bahkan terjadi akulturasi, kawin silang, sehingga ada yang tadinya
Hindu, kemudian menikah dengan orang Islam, sehingga Bali dikenal sebagai
wilayah kondusif bagi kehidupan toleransi beragama. Komunitas-komunitas Muslim
yang sudah berakar sejak lama, di beberapa wilayah di Bali, seperti di
Klungkung, Buleleng, Nusa Penida, Jembrana, Tabanan, Karangasem, Gianyar,
Bangli, Badung-Denpasar, dan Lain-lain. Mereka tak hanya menjadi komunitas
eksklusif, namun mereka juga
berinteraksi dan bergaul secara sosial dengan masyarakat Hindu yang ada di sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Adi Sutama, Putut. Komunitas Islam di Desa GelGel
Klungkung Bali. 2015 (Pdf)
Asfar, Muhammad., dkk. Islam Lunak Islam Radikal. Surabaya: JP Press Surabaya. 2003
Mashur Abadi, Moh. “Pesantren Desa Pegayaman Meleburnya Jagat Bali dalam Kearifan Lokal”. Karsa, No. 1,
Vol 20, 2012.
Parimartha I Gde., dkk. Bulan Sabit di Pulau Dewata Jejak Kampung Islam Kusamba-Bali. Yogyakarta:
Huma Printing & Design Graphic. 2012
Purna, I Made., dkk. Tradisi Barzanji Pada Masyarakat Loloan Kabupaten Jembrana Bali. Yogyakarta: Ombak. 2013
Zaelani, Anton., Enang Sudrajat. “Mushaf A-Quran Kuno di Bali”. Suhuf, No.2,Vol. 8, 2015.
0 Komentar