Arrisalah Newsroom. Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) sudah
menjadi isu yang menghangat sejak masa awal penerimaan mahasiswa baru
tahun ini. Bahkan saat dilakukan tes Ujian Masuk Perguruan Tinggi
Keislaman Negeri (UM-PTKIN) dan Seleksi Bersama Mahasiswa Perguruan
Tinggi Negeri (SBMPTN), sempat terpasang spanduk dan pamflet-pamflet
penolakan kenaikan UKT di beberapa tempat di kampus UIN Sunan Ampel
(UINSA) Surabaya. Tidak hanya itu, sekelompok Mahasiswa juga sempat
melakukan aksi demonstrasi penolakan kenaikan harga UKT ketika ujian Tes
Masuk Perguruan Tinggi tersebut sedang berlangsung.
Kenaikan harga UKT ini meresahkan Mahasiswa, terutama para Calon
Mahasiswa Baru (Camaba). Bahkan tercatat ada beberapa Camaba yang
diterima di UINSA terpaksa harus mengundurkan diri karena tidak sanggup
dengan mahalnya UKT yang harus mereka bayar jika kuliah di UINSA.
Sebagaimana diungkapkan oleh Rozi, Mahasiswa prodi Hukum Ekonomi
Syariah, “Sebelumnya Mahasiswa telah mengkaji UKT ini dari segi manapun.
Salah satunya ditemukan fakta bahwa UINSA memiliki UKT tertinggi jika
dibandingkan dengan PTKIN lain se-Indonesia” tuturnya.
Keresahan ini juga berlanjut ketika acara penutupan Pengenalan Budaya
Akademik Kampus dan Kemahasiswaan (PBAK). Ribuan Mahasiswa Baru (Maba)
yang mengikuti acara closing ceremony di Gedung Sport Center serentak
menyanyikan yel-yel dan membentangkan spanduk penolakan UKT mahal. Para
panitia dan jajaran rektorat yang berada di atas panggung berusaha
menenangkan situasi agar lebih kondusif.
Panitia yang dikomandoi oleh Fajruddin Fatwa, selaku koordinator PBAK
berusaha menenangkan situasi dengan bersholawat bersama. Upaya tersebut
berhasil menenangkan hadirin dan mereka kemudian serempak bersholawat.
Namun beberapa saat kemudian para Maba yang berada diatas tribun kembali
meneriakkan yel-yel dan membuat suasana tidak kondusif. Acara pun
kemudian ditutup dan para Maba dihimbau agar tidak melakukan aksi
selepas acara penutupan tersebut.
Himbauan tersebut tidak dihiraukan para Maba. Mereka kemudian
melanjutkan aksi demonstrasi di depan gedung rektorat. Aksi mereka
tersebut kemudian langsung ditemui oleh Wakil Rektor III UINSA, Ali
Ma’sum.
Beliau menjelaskan bahwa masalah UKT tersebut merupakan keputusan
langsung dari Kementrian Agama (Kemenag). Dalam penentuan UKT pada
dasarnya besarannya ditentukan menurut tingkatan kemampuan ekonomi
keluarga Mahasiswa yang bersangkutan. Ia menjanjikan bagi para Mahasiswa
yang merasa tidak sesuai kemampuan ekonominya dengan UKT yang harus
dibayarkan, maka diperbolehkan mengajukan banding melalui verifikasi
tahun depan.
“Semisal ada yang keberatan silahkan 1 Tahun ini dijalani dahulu,
jika 1 Tahun kedepan masih merasa keberatan maka bisa mengajukan
banding. Baru nanti akan diverifikasi oleh Tim dari kampus” tutur
Beliau.
Tanggapan tersebut kurang mendapat respon positif dari para Maba.
Mereka merasa waktu 1 Tahun terlalu lama untuk mengajukan banding UKT.
Mereka kemudian mengajukan waktu pengujian banding ulang dalam 3 minggu
kedepan. Tidak hanya itu, mereka juga mengancam akan menyegel
kantor-kantor, baik yang ada di rektorat maupun fakultas jika aspirasi
ini tidak ditanggapi oleh pihak rektorat.
Selain mengeluhkan mahalnya UKT, beberapa Maba ada juga yang
mempertanyakan kesesuaian besaran UKT dengan kondisi ekonomi mahasiswa
yang bersangkutan. “Saya mendukung aksi ini, karena penentuan UKT ini
banyak tidak sesuai dengan kenyataan. Banyak juga mahasiswa yang mampu
punya mobil punya rumah bagus tapi punya SKTM dan dapat UKT golongan 2,
saya rasa tidak adil, bisa jadi mereka memalsukan data dan tidak
diketahui pihak kampus”. Tutur Dinda Safitri salah satu peserta PBAK
dari FSH.
Dinda juga menjelaskan bahwa sebenarnya dirinya tidak mengetahui akan
ada aksi seperti ini di akhir penutupan PBAK tersebut. Dinda mengaku
bahwa sebenarnya dirinya pun takut terlibat aksi demonstransi yang
mungkin akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan untuk mengkritisi
rektorat terlebih karna dirinya baru menginjakkan kaki beberapa hari di
UINSA.
Berdasarkan penjelasan Rijalul Mahdi, Ketua SEMA Fakultas Adab dan
Humaniora (Fahum), Aksi tersebut berawal dari aspirasi Maba Fahum kepada
Wakil Dekan III Fahum, mereka merasa diperlakukan tidak adil karena
sekitar 450 Maba harus berdesakan di aula FDK yang sangat sempit dan
pengap. Hal ini tidak sebanding antara fasilitas yang ada dengan
mahalnya UKT yang harus mereka bayar. Atas aspirasi tersebut kemudian
Wadek III menyampaikan bahwa aspirasi mereka salah alamat, seharusnya
disampaikan kepada pimpinan universitas, bukan fakultas.
Dirinya juga membantah pernyataan jika aksi tersebut tanpa ada
kordinasi. Karena dalam aksi ini telah ada koordinasi sebelumnya dengan
Fakultas lain. Ia menjelaskan bahwa pertama-tama kawan-kawan dari Fahum
membuat spanduk penolakan kenaikan UKT di luar gedung SC sejak jumat
pagi (31/8) lalu kemudian teman-teman fakultas lain juga turut membuat
hal serupa. Selain itu kebetulan juga saat closing ceremony, Para
Maba dari Fahum dan FSH yang menyiapkan spanduk serupa duduk
berdampingan di tribun selatan, sehingga seolah-olah ada koordinasi
antar fakultas atas aksi tersebut. dirinya juga menegaskan bahwa aksi
ini murni aspirasi Maba, sedangkan SEMA hanyalah bertindak sebagai
fasilitator.
Hal senada juga disampaikan oleh Nawir, Koordinator lapangan dari
FSH. Dia menyatakan bahwa “aksi ini berawal dari keluh kesah para Maba
tentang mahalnya UKT yang ditetapkan rektorat. Atas dasar itulah mereka
memiliki inisiatif untuk melakukan aksi” tegasnya.
“sebelum-sebelumnya dari mahasiswa sudah melakukan audiensi kepada
pimpinan universitas tentang masalah ini. Namun belum menjelaskan
tanggapan yang serius dan spesifik. Maka tidak ada cara lain kecuali
dengan melakukan aksi hingga masalah ini tuntas.” Pungkasnya.
Aksi ini berakhir dengan kesepakatan bahwa dalam waktu 3 minggu
kedepan akan diadakan permohonan bandingan ulang UKT oleh pihak
Rektorat. Serta pernyataan sikap para mahasiswa untuk terus mengawal
jalannya penyelenggaraan proses banding ulang UKT. (vik/iqb)
0 Komentar