Menjadi bagian komponen penting dalam tatanan sosial
masyarakat, khususnya di Indonesia. Para santri harus menjadi pribadi yang
berkarakter unggul dan mampu membangun kemandirian. Sehingga santri dapat
menjadi contoh bagi masyarakat sekitarnya dalam hal apapun, bukan hanya dari
sisi ibadah dan kesalehan ritual semata, tetapi juga dalam proses hubungan
sosial dan ekonomi maupun yang lainnya.
Untuk membangun kemandirian ini santri sejak awal harus
dibekali dengan jiwa leadership, sosialis, enterpreneurship dan perilaku
tirakat serta riyadhoh batin. Di
dunia santri, konsep kemandirian ini sudah diwariskan secara turun temurun
sejak zaman walisongo hingga para ulama saat melawan penjajahan dan mendirikan
bangsa Indonesia. Di mana salah satu konsep kemandirian yang dicetuskan oleh
salah satu walisongo yaitu konsep “Gusjigang”.
Bagus, Ngaji dan Dagang (Gusjigang) merupakan terma
yang begitu mendarah daging bagi sebagian besar masyarakat di Kabupaten Kudus
daerah kecil yang terletak di Jawa Tengah. Gusjigang menjadi representasi dari masyarakat Kudus yang
bagus dalam penampilan, perilaku yang baik, mempunyai jiwa wirausaha, serta
gemar belajar dan mencari ilmu. Hal ini tidak lepas dari sosok walisongo yang
ada di Kudus yaitu Syekh Ja’far Sodiq (Sunan Kudus).
Penanaman nilai-nilai Gusjigang sangat penting bagi
santri. Pertama, bentuk sikap dari inti nilai gusjigang adalah "Gus"
kepanjangan dari kata bagus. Ini tercermin dari sikap masyarakat kudus
mempunyai nilai toleransi dan empati yang sangat tinggi. Terlihat dengan adanya
kepercayaan masyarakat Kudus untuk tidak menyembelih sapi merupakan salah satu
bentuk sikap soft skill kemampuan
berkomunikasi dan sikap interpersonal
yang baik. Hal ini tidak lepas dari sikap Sunan Kudus yang cinta damai dan
memiliki toleransi yang tinggi dalam berinteraksi dengan umat yang memiliki
perbedaan latar belakang keyakinan maupun budaya.
Seperti salah satu ciri khas Kudus yang sangat jarang
kita temukan makanan yang berasal dari daging sapi. Karena menurut kepercayaan
masyarakat Kudus, mereka pantang untuk menyembelih sapi sesuai dengan titah
dari Sunan Kudus sebagai bentuk penghormatan terhadap penganut agama lain.
Maka, jika dikaitkan dengan karakter santri inti nilai
“Gus” dari kata bagus sangat sesuai dengan karakter yang harus dimili santri
yaitu kemampuan berkomunikasi, kerjasama tim, serta etika moral dan
profesionalisme. Sehingga kemampuan berkomunikasi disini merupakan bentuk dari
sikap inter-personal seseorang santri. Masyarakat Kudus yang mempunyai sifat
“Gus” begitu kental dengan nilai-nilai toleransi dan menjunjung tinggi
keberagaman. Sifat bagus ini juga sesuai dan harus dimiliki seseorang santri
yaitu kemampuan untuk membangun hubungan, berinteraksi dan bekerja secara
efektif dengan lainnya
Kedua, adalah nilai “ji” atau ngaji. Masyarakat Kudus
selalu mempunyai semangat untuk belajar sepanjang hayat. Hal ini dibuktikan
dengan ramainya pesantren, lembaga pendidikan Islam baik formal maupun non
formal. Sehingga masyarakat Kudus dalam hal pendidikan tidak hanya belajar pada
lembaga formal di pagi hari, akan tetapi ditambah belajar ilmu-ilmu keagamaan
di Taman Pendidikan al-Qur’an ataupun sejenisnya pada sore dan malam hari.
Sehingga ini menegaskan bahwa masyarakat Kudus lebih
mementingkan untuk terus melakukan nilai “Ji” atau ngaji. Karena ngaji disini
tidak hanya dimaknai pembacaan terhadap ayat-ayat alQur’an semata, tetapi ngaji
disini adalah semangat untuk terus belajar. Apabila dikaitkan dengan karakter
santri maka nilai “ji” dari gusjigang seharusnya sudah mendarah daging kedalam
diri seorang santri yang sepanjang hidupnya tidak lepas dari kata belajar atau
ngaji.
Nilai “Ji” atau ngaji mengandung nilai penting yaitu kemampuan
untuk mengelola informasi yang relevan dari berbagai sumber, kemampuan untuk
menerima ide-ide baru, dan kemampuan untuk mengembangkan keinginan untuk
menginvestigasikan dan mencari pengetahuan. Sehingga nilai “Ji” atau ngaji bagi
seorang santri merupakan hal yang wajib dimiliki untuk membentuk karakter yang
kuat dalam pengetahuannya. Di mana salah satu tuntutan bagi santri masa ini yang
terkandung dalam nilai “Ji” atau ngaji ini adalah hal yang sangat penting. Yaitu,
santri dituntut supaya tidak Gagap Teknologi mengingat pesatnya perkembangan
teknologi pada saat ini.
Ketiga, adalah “gang” atau dagang. Kabupaten Kudus
dipandang sebagai daerah enteprenuer
hal ini tercermin dari karakteristik masyarakat Kudus yang pantang menyerah dan
bekerja keras. Sunan Kudus sebagai tokoh pendiri dan panutan masyarakat Kudus
adalah seorang pedagang yang sukses dan kaya. Tidak heran jika kemudian
sebagian besar masyarakat Kudus adalah seorang wirausaha yang ulet, kaya dan
sukses.
Apabila dikaitkan dengan seorang santri keterampilan
kewirausahaan patut untuk dimiliki seorang santri di masa ini. Kemampuan untuk
membangun, mengeksplorasi dan mencari peluang bisnis kerja serta punya
kemampuan berwirausaha sendiri. Sehingga santri mampu mandiri dan mampu berwirausaha
dan membuka peluang kerja bagi siapapun.
Maka konsep Gusjigang ini patut untuk diintegrasikan
ke dalam diri santri masa kini untuk menanamkan soft skill, karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
merupakan perwujudan konsep soft skill.
Nilai “gus” dalam Gusjigang sesuai dengan soft
skill kemampuan berkomunikasi, dan kerjasama tim. Nilai “ji” sesuai dengan soft skill belajar sepanjang hayat.
Sedangkan nilai “gang” sangat sesuai dengan soft
skill keterampilan kewirausahaan.
Integrasi nilai-nilai bagus, ngaji dan dagang
(Gusjigang) ke-dalam diri santri sudah sepatutnya diperhatikan dan ditularkan
kepada para santri. Karena konsep ini muncul dari tokoh penting agama Islam
yaitu Syekh Ja’far Sodiq (Sunan Kudus) yang merupakan salah satu Walisongo yang
ada di Indonesia. Sehingga semangat bagus, ngaji dan dagang tidak hanya menjadi
kearifan lokal masyarakat Kudus maupun Santri Kudus semata, tetapi menjadi
perilaku dan kemampuan Santri manapun.
Oleh : Ahmad Taqiuddin Najih
Penulis merupakan Santri PP. MUS-YQ Kudus
dan Pesantren Luhur Al-Husna Surabaya.
0 Komentar