Doc. Tribunnews.com
Pemberitaan
saat ini sedang ramai dengan perbincangan kasus Audrey siswi SMP di Pontianak
yang dilakukan siswi SMA di Pontianak, hingga ramai
di media sosial dengan tagar #JusticeForAudrey. Menemui babak baru
setelah dirilisnya hasil visum yang dinyatakan tidak ada luka memar di area
sensitif sebagaimana yang korban laporkan pada pihak kepolisian, hingga kali
ini muncul tagar baru #AudreyJugaBersalah.
Meski
begitu, berkas perkara sudah dilimpahkan ke kejaksaan untuk ditindak lanjuti
agar perkara ini segera diputuskan. Hal ini sesuai dengan istilah dalam hukum yakni
semua orang harus taat atau patuh terhadap hukum (pro justitia).
Para ahli hukum seperti pengacara kondang yakni Hotman Paris ikut turun
tangan menindak kasus ini. Dalam video yang diunggahnya di YouTube, ia mengatakan
"Kalau memang benar tuduhan di media sosial, tidak ada alasan lagi untuk
tidak memulai penyidikan dan melakukan penahanan," pungkasnya dalam video berdurasi
14.02 tersebut.
Dalam pandangan Imron Rosyadi selaku
dosen hukum pidana di Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Ampel Surabaya
mengatakan, “Yang menjadi
masalah dan perdebatan ini adalah
dia (red: pelaku) masih di bawah umur (di bawah umur 18 tahun),
yang mana tidak dapat dipenjara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) No
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana
Anak (SPPA), kecuali anak tersebut melakukan
tindak pidana yang berulang (residivis). Meskipun
aturan tidak diatur, apabila
membuat salah seorang cedera dan berat, maka harus ditahan, disidangkan di
pengadilan anak”.
Perlakuan penahanan pada anak berbeda dengan penahanan orang dewasa. Istilah
penjara yang selama ini disalah artikan oleh beberapa masyarakat tidak dikenal
di dalam UU SPPA, namun dikenal dengan Lembaga
Pembinaan Khusus Anak (LPKA) yang digunakan
untuk pembinaan khusus dalam kasus
tindak pidana yang dilakukan oleh anak di bawah
umur dengan tanpa meninggalkan esensi hukuman yaitu untuk memberikan efek jera
kepada pelaku.
Di awal
kasus ini muncul yang sebenarnya jadi perhatian publik adalah ketika opsi perdamaian
muncul. Menurut
sebagian masyarakat Indonesia dirasa kurang adil bagi korban, mengingat apa
yang dilaporkan oleh Audrey kepada kepolisian begitu berat kekerasan yang diterimanya.
Imron meluruskan bahwasannya dalam pengadilan anak diatur proses
perdamaian, “Di dalam pengadilan anak diatur proses perdamaian itu lebih
diutamakan daripada dipenjara,” pungkasnya.
Sebagaimana diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang juga mengatur
tentang peraturan peradilan damai dan
juga diatur pada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2
Tahun 2015 Tentang Gugatan Sederhana Sebagai Salah Satu Instrumen dalam
Menerapkan Asas Sederhana, Cepat, Biaya Ringan. Hal inilah yang disebut restorative
justice yakni
mengedepankan musyawarah dan aspirasi masyarakat tentang bentuk keadilan
sesungguhnya, yang mana
dianut untuk menyelesaikan permasalahan agar tidak perlu di-meja hijau-kan.
Kasus
pidana bukan perihal seberapa besar kerugian korban mengalami cacat, namun yang ditinjau adalah pada perbuatannya. Kejadian
ini tentu menjadi pukulan telak bagi sistem pendidikan di Indonesia. Maka dari
itu, Imron berpendapat bahwasannya pendampingan orang tua dan guru dirasa
penting dan efektif untuk meminimalisir kasus kekerasan pada anak. Hal tersebut dirasa penting agar anak-anak diberi
pemahaman tentang resiko kehidupan yang bersentuhan dengan hukum.
“Saya
berpendapat, pihak sekolah akan lebih efektif jika melakukan sosialisasi
tentang tindak kekerasan dengan resiko dan segala konsekuensinya untuk
memberikan pengetahuan awal, tidak hanya sosialisasi terkait narkoba saja,” ia
beranggapan pula, bahwa kemajuan digital dan teknologi saat ini memudahkan
generasi milenial untuk mengakses segala hal dengan mudah, termasuk
melihat video yang berbau kekerasan. “Ya, namanya anak-anak kan pasti ingin
mencoba, karena anak itu ngerti salah atau tidak kan tidak tahu,” lanjutnya.
Dari
kasus perundungan yang dialami oleh Audrey sebaiknya
kita jadikan pelajaran agar nantinya tidak ada lagi kasus serupa. Hal
ini dapat berimbas kepada mental dan aspek psikologis korban perundungan dan
mencegah adanya perundungan di mana pun
dimulai dari diri sendiri. (Dimas/Tiyaz)
0 Komentar