doc. from google |
Pers menjadi salah satu pilar penegak dalam sistem demokrasi di
Indonesia, terutama dalam hak kebebasan berpendapat. Peran Pers secara umum bukan
hanya mengungkap kebenaran namun juga fakta serta melakukan edukasi terhadap
masyarakat. Begitupula Pers Mahasiswa (Persma), Persma hadir dalam lingkup
perguruan tinggi sebagai upaya mewujudkan berhasilnya kebebasan akademik.
Persma menjadi sarana penyaring aspirasi warga universitas sebagai ladang
terciptanya kreativitas maupun kritik serta saran membangun.
Kebebasan akademik seringkali dimaknai kebebasan yang hanya dimiliki
dosen, padahal mahasiswa juga memiliki hak tersebut. Inilah faktor yang
menjadikan beberapa mahasiswa tidak berani menyuarakan kritik ataupun
sanggahan. Dimana seharusnya perbedaan itu dapat menjadi forum diskusi dan
saling bertukar pikiran sehingga membawa budaya akademik yang lebih baik. Interaksi
setidaknya bukan hanya terjadi antara mahasiswa dengan mahasiswa, dosen dengan
dosen saja, melainkan antara pendidik dengan mahasiswanya juga. Namun, tak
dapat dipungkiri bahwasannya dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, memiliki rekognisi
berbeda yang diperoleh oleh Pers Mahasiswa.
Dalam Bincang Advokasi yang mengangkat isu “Kekerasan Terhadap Persma”,
perbedaan antara perusahaan Pers dengan Lembaga Pers Mahasiswa yakni pada siapakah
UU Pers ini dapat diterapkan? Apakah semua yang termasuk dalam Pers memiliki pengakuan
di dalam UU Pers? Sejatinya, UU Pers mengatur mengenai jaminan perlindungan
bagi perusahaan Pers dan wartawan. Dengan standardisasinya yakni perusahaan
Pers harus menyesuaikan 4 dokumen dalam Piagam Palembang, KEJ, Standar
Perusahaan Pers, Standar Kompetensi Wartawan, dan SOP Perlindungan Wartawan. Maka,
dianggaplah personil redaksi maupun wartawan suatu perusahaan Pers sebagai
suatu profesi. Sedangkan, pada Pers Mahasiswa sendiri statusnya tetap mahasiswa
bukan sebagai profesi ahli. Sehingga, Pers Mahasiswa tidak memperoleh perlindungan
di bawah UU Pers.
Hal inilah yang menyebabkan Pers Mahasiswa seringkali dipandang sebelah
mata, juga mendapat represi dari pihak-pihak yang kontra. Selagi belum adanya legal
standing bagi Persma, tentu akan berdampak pada kesulitan jurnalis untuk
memperoleh data-data. Pun, ini berdampak pada jurnalis yang mendapatkan
kekerasan/serangan, mereka enggan diadvokasi karena adanya rasa takut dan
ancaman. Mulai dari delegitimasi karya Persma, intimidasi dari pihak perguruan
tinggi, maupun kekerasan fisik. Ini yang menjadi faktor Persma seolah tidak
diakui oleh lingkup universitas. Adanya normalisasi dari internal seolah
menormalkan represi.
Jika melihat dari Hak Konstitusional dalam
UUD NKRI 1945, memuat bahwasannya warga negara berhak mendapatkan pengakuan, jaminan,
perlindungan, keadlilan maupun kedudukan yang sama di hadapan hukum (Pasal 28D)
serta dalam (Pasal 28E ayat 3) bahwa setiap orang berhak atas kebebasan,
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Maka, sebagai bagian dari
warga negara juga mahasiswa, Persma berhak mendapatkan perlindungan atas dasar
konstitusi juga dalam perguruan tinggi. Inilah yang menjadi celah yang tak
disebutkan di dalam UU Pers. Status Pers mahasiswa melekat pada mahasiswa,
sehingga tanggung jawab ada pada perguruan tinggi yang menaungi. Pembinaan Pers
mahasiswa oleh dosen juga menjadi salah satu tiang tegaknya kebebasan akademik.
Dewan Pers dalam Bincang Advokasi pada 22/7/22, telah membuat skema
perlindungan yang masih terus diupayakan agar terlaksana yakni seperti status
Pers Mahasiswa melekat selama menjadi mahasiswa, perguruan tinggi
bertanggungjawab membuat skema perlindungan bagi mahasiswa maupun Persma, Persma
berada dalam pendampingan oleh dosen/Konstituen Lembaga Pers, rekognisi Persma
dilakukan dengan skema kerjasama antara Kemendikbud dengan Dewan Pers, serta
menerbitkan kartu Pers oleh Dewan Pers/Konstituen yang berlaku selama menjadi
mahasiswa (dianalogikan pengacara praktik mahasiswa).
Persma dari segi kreativitas memang berbeda dengan jurnalis
professional, menurut Sasmito dari AJI Indonesia. Sebab, dalam satu tahun
setidaknya seorang jurnalis menghasilkan dua belas karya atau lebih. Pun
menjadi seorang jurnalis, harus benar-benar taat pada kode etik jurnalis. Sehingga,
timbulnya wacana mengenai apakah seharusnya diadakan revisi pada UU Pers
mengenai perlindungan terhdap Persma perlu segera dilakukan, menurut Sasmito
itu belum terlalu mendesak, bisa jadi diusulkan di masa mendatang. Persma
memang membutuhkan regulasi yang menyetarakan posisi Persma dengan jurnalis
professional, dengan syarat seperti patuh terhadap kode etik serta menghasilkan
dua belas karya jurnalistik dalam setahun.
Dapat disimpulkan dengan rekomendasi dari PPMI Nasional mengenai rekognisi Persma yakni dengan mengupayakan tiga hal sebagai barikut: Dewan Pers membuat pernyataan terbuka/political statement tentang Persma, Persma melakukan MoU dengan Kemendikbud Ristek/Dirjen Pendis, serta revisi UU Pers. Persma menagih haknya namun, bukan sebagai wujud seolah mengemis. Akan tetapi, pemenuhan hak perlindungan dan pengakuan oleh perguruan tinggi maupun konstituen harus ada. Menjadikan Lembaga Pers Mahasiswa bergerak independen guna mewujudkan kebebasan akademik benar-benar tercipta di lingkungan perguruan tinggi.
Oleh : Caca
0 Komentar