Dialog dari Daun yang Gugur

 

Illustrasi Daun Jatuh | Sumber: Freepik

Oleh: Najma

Raki sering merenung tentang kehidupan dan perjuangan ayahnya. Raki pikir ayahnya serupa dedaunan, “terus bekerja demi kelangsungan hidup sebuah pohon, tanpa berpikir ia bakal menua dan gugur juga.” Ayahnya selalu sibuk dengan pekerjaan dan tanggung jawab memastikan bahwa keluarganya tetap kuat dan sehat. Namun, Raki menyadari bahwa seperti dedaunan yang akhirnya menua dan gugur, ayahnya suatu saat akan mencapai batas kemampuannya.

Ayah Raki adalah seorang pemikir revolusioner yang selalu gelisah mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan besar dalam hidup. Dedikasinya pada pengembangan Ilmu Pengetahuan terlihat dalam penelitian dan proyek-proyek yang sering kali kontroversial. Dengan keberanian yang luar biasa, ia menantang norma-norma yang ada, tidak takut menghadapi kritik dan pertentangan dari masyarakat. Banyak orang menganggap ayahnya seperti robot hidup, seseorang yang tak mengenal lelah dan emosi dalam pekerjaannya. Namun, Raki melihat sesuatu yang lebih dalam dalam di balik penilaian tersebut. 

Setiap kali Raki melihat mata ayahnya yang tulus dan penuh semangat, ia merasakan adanya dorongan kuat untuk merealisasikan segudang ide demi keberlangsungan hidup yang lebih baik. Ayahnya bekerja siang dan malam tanpa henti bukan karena ambisi pribadi, tetapi karena fanatisme terhadap keberlangsungan hidup sebuah “pohon” secara universal. Meski seorang diri, Raki yakin Ayahnya adalah seorang yang baik hati.

Ketika ayahnya memulai penelitian kontroversial tentang solusi untuk mengatasi kelebihan penduduk, reaksi publik sangat keras. Cacian dan kritik dilontarkan tanpa henti,menciptakan gelombang ketidakpuasan yang semakin membesar. Pemerintah akhirnya turun tangan, meski secara perlahan, untuk mengatasi keresahan yang timbul di masyarakat. Instansi dan para donatur yang awalnya mendukung penelitian tersebut mulai menarik diri berusaha menyelamatkan sahan dan reputasi mereka yang terancam. Di tengah tekanan yang semakin kuat, ayah Raki tetap teguh melanjutkan penelitiannya. Namun, desakan dari berbagai pihak terus berlanjut dan berubah menjadi bentuk diskriminasi yang menyakitkan. Akibatnya, ibu Raki merasa tidak sanggup lagi menghadapi situasi tersebut dan memutuskan untuk pergi.

”Ibu, akan pergi..tidak tahan dengan semua ini,” Katanya dengan suara bergetar matanya penuh dengan kelelahan dan kesedihan.

Raki menatap ibunya dengan senyum kecut di wajahnya. ”Bukankah ibu pergi karena tidak tahan dengan cacian orang-orang?,” tanyanya dengan nada yang mengandung kepahitan. Pertanyaan itu menggantung di udara, membawa beban perasaan yang sulit diungkapkan. Raki memahami betapa beratnya tekanan yang mereka hadapi, tetapi dalam hatinya, ia juga merasa kecewa melihat ibunya memilih untuk menyerah dan berhenti.

Masyarakat selalu mengkritik dan kepolisian kerap keluar-masuk rumah mereka, Raki tetap percaya Ayahnya adalah seorang yang baik hati. Ia tidak pernah goyah akan hal tersebut yang ia ragukan justru dunia ini, bahkan dirinya sendiri.

Raki selalu bertanya dalam diam, mengapa masyarakat begitu cepat menghakimi tanpa pernah mencoba memahami lebih dalam ? Apakah mereka begitu sulit menerima rasionalitas yang dipadukan dengan rasa kemanusiaan? Setiap hari, Raki menyaksikan ayahnya bekerja tanpa lelah, dengan tujuan mulia untuk memperbaiki dunia. Namun, bukannya mendapatkan dukungan, ayahnya malah dihakimi dan dicap sebagai orang yang aneh dan berbahaya. Tidakkah mereka mereka mengerti, bahwa seperti ”pohon” yang lebih besar ayahnya Raki pun hanya ingin memberikan kontribusi positif bagi kehidupan banyak orang ?.

”Ayah, bolehkah kita menjadi orang jahat ?”

Pertanyaan itu menggantung ke udara, membawa makna yang dalam. Raki terdiam sejenak, merenungi kata-kata ayahnya. Ia memahami bahwa konsep kebaikan dan kejahatan tidaklah hitam dan putih. Orang yang dianggap jahat oleh sebagian mungkin hanya berbeda pandangan atau cara dalam menghadapi masalah. Ayahnya, meskipun kontroversial, bukankah orang jahat. Ia hanyalah seseorang yang berani berdiri teguh pada prinsipnya, demi kebaikan yang lebih besar. 

”Memangnya orang jahat itu seperti apa sih? Apakah polisi di depan itu termasuk orang jahat?” Ayah Raki berbalik bertanya.

Ayah masih bisa tertawa meskipun sirine polisi mendesing di depan rumah. ”Semesta lebih luas dari kacamata kita,” Katanya dengan senyum di wajahnya. ”Tuhan tidak pernah melarangmu untuk menjadi orang jahat, tetapi ia menginginkanmu menjadi seorang manusia,”.

Terkadang, Raki berpikir ayahnya adalah seorang yang naif. Bagaimana mungkin ia tetap teguh pada keyakinannya, meskipun dunia di sekitarnya terus-menerus menghakimi dan mencapnya sebagai penjahat? Di saat-seperti ini, Raki berharap ayahnya bisa melepaskan semua penelitian kontroversial itu dan menjalani kehidupan normal seperti orang lain. Ia ingin ayahnya berhenti menjadi sosok yang selalu berada di garis depan perubahan, dan kembali menjadi manusia yang normal, yang tidak perlu menghadapi tekanan dan ancaman setiap hari.

Lucunya, kenaifan itu justru membuat Raki tidak bisa berkutik dan menuruti semua perkataan Ayah. Meski begitu, ia terpaksa mengabaikan suara hatinya sendiri, seolah-olah tidak lagi berpijak pada kenyataan. 

***

Di saat waktu, ketika Raki benar-benar pasrah dan hilang tempat berpijak. Ia genggam dua tangan keriput itu, lantas mengucapkan pertanyaan agung yang berusaha ia sembunyikan, “Aku tahu Ayah tidak akan pergi pun kembali, tetapi haruskan bergini caranya? Dengan dianggap sebagai penjahat ?”

“Butuh miliaran tahun untuk menciptakan manusia dan hanya butuh sedetik untuk mati. Lalu, apa arti hidup kita selama ini? Apakah pembuatan kita salah atau benar bagi kehidupan? Kadang kala kita tidak menemukan jawaban itu saat mati, Nak, melainkan beratus tahun kemudian.” Mata ayah meneduh laksana embun dedaunan. “Sama halnya dengan daun, ia tidak tahu sumbangsihnya pada sebuah pohon besar hingga pohon itu tumbuh lebat dan membawa kebahagiaan bagi makhluk hidup lain.”

Raki bergetar, “Ayah aku pasti merindukanmu,”.

“Teruslah merindu, Nak. Karena ciri penghuni surga adalah mereka yang selalu merindukan kebajikan dan terus mencari apa itu kebajikan.”

Rembulan tepat di tengah angkasa ketika pertanyaan, kehidupan, serta daun itu luruh membusuk di tanah.


0 Komentar