Menetralisir Adiksi Internet dan Media Sosial

Ditulis oleh: Alfian Muslim

Editor: Elly

Illustrasi Anak Bermain Smartphone | Sumber: Freepik

Hidup di abad ke-21 merupakan suatu keberuntungan sekaligus kemalangan. Di satu sisi semua imajinasi masyarakat purbakala terpenuhi dengan kemudahan akses informasi, komunikasi, dan transportasi. Sedangkan di sisi lain manusia mencapai titik paradoks kemajuannya secara konkret dengan berhasil menyeret jutaan manusia dalam sebuah ilusi nyata bernama visual. Kehidupan yang serba mudah berhasil mengubah hidup layaknya dalam lingkaran adiksi. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa: "kita hidup padahal sudah mati".

Scrolling media sosial 5 jam hampir tidak terasa, tapi untuk belajar 10 menit sudah sakit kepala. Terlampau sibuk pada hal-hal yang tidak berguna dan sulit meluangkan waktu untuk hal-hal yang penting. Susah fokus lebih lama dan pusing jika dihadapkan pada sebuah pilihan. Ingin segalanya cepat terwujud, sehingga tidak dapat menghargai proses. Overthinking memikirkan hal-hal yang melebihi batas. Tidak punya mimpi, kecuali ingin kaya raya. Individualistis atau tidak peka terhadap lingkungan sekitar. Enggan melewatkan hal baru di internet alias takut tertinggal informasi padahal tidak begitu penting. Segalanya tentang hiburan dan kesenangan. Tidak ada kata pengorbanan dan perjuangan. Padahal hidup, sejatinya tidak berjalan demikian.

Penulis tidak akan mengungkap berbagai riset sains terkait hal tersebut. Penulis anggap pembaca sekalian sudah memahaminya jauh lebih baik dari penulis pribadi. Singkatnya, dopamine atau biasa disebut hormon kebahagiaan yang mengatur sistem reward di otak kita, keluar secara masif hanya dengan sentuhan jari. Bahkan membanjiiri otak kita. Tentu kegiatan seperti makan, minum, berolahraga, dan bekerja menghasilkan dopamine. Namun dalam jumlah yang sesuai dengan kadarnya. Lain halnya dengan bermain internet dan media sosial yang ternyata, meskipun kita hanya diam di atas kasur sambil menggerak-gerakkan jari pada layar ponsel justru akan menghasilkan dopamine yang luar biasa banyaknya. Apabila kita tidak Menghentikannya atau terus menerus memberikan dopamine hit seperti yang biasa kita lakukan, maka apa yang Penulis sebut dalam paragraf kedua diatas akan segera terasa efeknya. 

Pada gilirannya, setelah bertahun-tahun lamanya mengonsumsi media sosial, kita tidak pernah tahu: sejak kapan internet merusak kita. Dalam pengalaman penulis, kesadaran bahaya ini justru timbul pada diri penulis pasca menonton film dokumenter Netflix berjudul "Social Dilema".

Film yang pada akhirnya membuka suatu wacana pelik tentang paradoks kemudahan komunikasi dan jaringan global. Wacana tersebut sepelik saat kita tidak menyadari bahwa kita adalah seorang pecandu narkotika modern. Serumit saat alam bawah sadar kita yang terus waspada dan menerka-nerka atas "apa yang baru hari ini?", "adakah pesan whatsapp hari ini? ", dan terus menerus kaget akan informasi yang tersaji dalam bentuk visual, hingga sampai pada titik "waktu terasa begitu cepat, saya melewatkan banyak hal".

Penulis rasa kita sekarang tidak bisa menolak Media sosial dan internet secara total —meski ada saja seseorang yang hidup tanpanya di dunia ini— karena teknologi tersebut rupanya telah merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan. Mulai dari pendidikan, ekonomi, sosial, dan lain sebagainya. Menolaknya pun akan menimbulkan masalah tersendiri bagi sebagian besar manusia. Karenanya kita hanya perlu membiasakan untuk menetralisirnya, atau dengan kata lain mengurangi penggunaan media sosial secara tepat. 

Istilah yang umum yang sudah kita kenal adalah puasa dopamine (dopamine detox). Beberapa ilmuwan besar yang hidup di abad ini melakukannya dengan kadar yang berbeda. Di Indonesia kita mengenal Gus Baha' yang begitu ekstrem melakukannya. Beliau secara terang-terangan mengatakan tidak menggunakan WhatsApp. Atau seperti Gita Wirjawan, mantan menteri perdagangan Indonesia 2011-2014, pemilik podcast ternama Endgame, juga sangat memperhatikan waktu pemakaian ponselnya. Dalam salah satu podcastnya, beliau mengatakan bahwa pemakaian ponselnya tidak lebih dari 3 jam sehari, dan lebih banyak meluangkan waktu untuk membaca jurnal ilmiah. Justin Rosenstein, seorang mantan manajer produk di Google, pencipta tombol like dan beranda Facebook, sekaligus founder Asana mematikan seluruh notifikasi di ponselnya, serta menghapus seluruh aplikasi yang tidak terkait dengan sesuatu yang dinilainya penting dalam kehidupan sehari-harinya. Tim Kendall, mantan presiden Pinterest yang sekarang menjadi CEO Moment, tidak membiarkan anak-anaknya bermain media sosial. Kendall juga mengaku sangat keras terhadap waktu pemakaian ponsel anak-anaknya. 

Hal inilah yang penulis pikirkan selama 1-3 tahun belakangan terakhir dan berusaha untuk selalu mencari solusi terbaik untuk menetralisir adiksinya yang begitu kuat. Model menetralisir yang akan penulis jabarkan di bawah ini adalah beberapa langkah yang dirasa paling kuat melawan candu media sosial. Tentu dasar penelitian ini hanyalah murni intuisi dan pengalaman pribadi yang sangat subjektif. 

Namun, penulis optimis jika pembaca konsisten melakukannya, candu media sosial dapat berkurang hingga 40-60 persen. Sebuah angka yang cukup untuk memberikan jeda istirahat bagi otak kita, dan membuatnya lebih fresh dari biasanya. 

Berikut adalah beberapa tips menetralisir adiksi media sosial dan internet versi penulis:

1. Jangan gunakan ponsel setelah bangun tidur.

Pagi hari adalah waktu terbaik menghirup udara pagi, jangan pilih aktivitas tidur. Berjemur menghangatkan diri pada jam 9-10 selama 15-20 menit baik untuk tubuh, selain itu hal ini juga bisa mengurangi dopamine hit kuat yang berpotensi besar membuat habbit (kebiasaan) bermain ponsel semakin candu. Pasalnya, bangun pagi adalah waktu jeda gelombang frekuensi otak kita berangsur cepat setelah tenang sebab tidur. Merusak frekuensi tersebut sama dengan meminum air dingin setelah makan makanan panas.

2. Memasak dan Berbelanja.

Entahlah, penulis merasa adiksi media sosial bisa turun saat keluar membeli bahan makanan untuk dimasak di rumah. Hal ini penulis amati ketika melihat anak SMA yang penulis yakini begitu candu bermain media sosial. Namun, ketika anak tersebut mulai memasak dia menjadi lebih fokus, lebih peka terhadap lingkungan, dan seolah menjadi seseorang yang berbeda. Aktifitas ini adalah penetral Adiksi terbaik yang layak dicoba. Cobalah untuk memasak makananmu sendiri dengan tanpa ditemani oleh musik, internet, dan media sosial (tanpa HP). Singkirkan ponsel dari pandangan sejenak hingga aktivitas memasak selesai.

3. Membersihkan badan, rumah, dan lingkungan. 

Cobalah untuk membersihkan diri atau minimal mandi sehari sekali. Mulai jadwalkan waktu untuk membersihkan kamar tidur, ruang tamu rumah, hingga halaman rumah. Hal ini akan sedikit mengalihkan pikiran dari kejenuhan informasi media sosial.

4. Olahraga.

Olahraga ringan di pagi hari masih menjadi aktifitas yang dominan melawan candu media sosial. Pasalnya dopamine yang dihasilkan dari olahraga hampir sama besarnya dengan bermain media sosial.

5. Meditasi. 

Meditasi adalah satu aktifitas yang jarang dilakukan oleh kebanyakan manusia modern namun memiliki dampak yang luar biasa bagi jiwa manusia. Banyak riset kesehatan dan psikologi yang mengatakan bahwa meditasi menjadi obat ampuh stress dan penyakit mental lainnya. Kegiatan ini mudah dilakukan dimana saja dan kapan saja tanpa memerlukan uang sedikit pun. Pembaca hanya perlu mencari tempat yang sunyi. Selebihnya mengenai tata caranya, dapat dipelajari sendiri di google maupun YouTube.

6. Ibadah (aktivitas kerohanian). 

Kegiatan ini khusus bagi yang percaya Tuhan. Bagi yang tidak percaya bisa login dulu. Kebetulan di Indonesia ada 6 agama yang diakui secara resmi, silahkan dipilih saja. InsyaAllah tanpa dipungut biaya..

7. Punya waktu sedikitnya 1 jam untuk menjalankan hobi perharinya. 

Menekuni hobi sebagai aktivitas pengalih kegandrungan terhadap media sosial bisa menjadi solusi terbaik, contohnya dengan membaca buku maka fokus terhadap gadget bisa dialihkan, selebihnya membaca buku 1-2 jam sama halnya dengan memberi asupan nutrisi sekaligus informasi baru pada otak

8. Mematikan Seluruh Notifikasi.

Fitur notifikasi ponsel, baik suara maupun bubble chat yang keluar dari atas layar ponsel, adalah salah satu fitur yang memang dirancang secara khusus untuk memainkan psikologi kita supaya terus menerus memantau layar ponsel. Mematikannya membantu kita meredam hal tersebut.

Sekian, semoga bermanfaat.

0 Komentar