![]() |
Sumber: Freepik.com |
Berkelana di jagat ini,
aku rasa telah menjelma jīvanmukta
bukan karena tercerahkan,
melainkan karena sudah tak tahu
apa arti merasa. Aku hidup,
Tapi entah untuk apa
Segalanya…
Berulang-ulang, membosankan.
Duḥkha bukan lagi rasa,
hanya rutinitas yang melekat
seperti debu di lipatan napas.
Kutelan hari-hari seperti meneguk udara basi,
tak ada rasa, tak ada warna,
hanya chāyā dan bayang hitam
yang menempel di kelopak mataku
yang tak pernah benar-benar berkedip.
Tak ada teman. Tak ada lawan bicara.
Hanya dinding-dinding sunyi
dan hawa sesak
yang menggumpal di rongga dada.
Telah kutempuh begitu banyak jalan buntu
dan tiap prayāsa
berujung pada dinding sunyi yang memantulkan cemooh.
Kucoba, sekeras mungkin,
namun jagat membalas dengan bisu
yang lebih tajam dari ejekan.
Aku berlari,
namun tanah seolah menolak langkahku,
menghisap kakiku seperti rawa murka
yang menelan pelariannya sendiri.
Tanah air yang dulu membidani ragaku,
kini seperti bayangan yang enggan menyapa.
Kampung halaman telah kehilangan lidah,
tak menyapaku selain lewat angin dingin
yang menusuk seperti penolakan diam-diam.
Masa depan?
Kabur seperti māyā,
ilusi yang memanggil, lalu menghilang.
Aku khawatir
sebab tiap langkah terasa sia-sia,
dan tiap harapan membusuk
sebelum sempat tumbuh..
Kampung halaman kini serupa jananī yang membisu dalam liang,
dan dunia, seperti bhaginī
yang tak lagi menggenggam tanganku saat gelap.
Suara-suara berkata, "Masih ada harapan..."
Namun hatiku, yang dipijak remeh,
telah lama berserah dalam hampa.
Tangisku bukan air, bukan pula suara.
Ia adalah desir rahasia
yang mengendap di antara lipatan waktu.
Menjelma bisik angin
yang hanya didengar jiwa-jiwa retak.
Ia menari di balik kelopak mata
sebagai kabut tak bernama,
mengalir pelan dalam lorong sunyi
tempat gema pun enggan tinggal.
Tangisku adalah mantra tak terucap,
menyelinap dalam canda yang kusematkan,
seolah tawaku adalah altar
bagi duka yang tak diizinkan lahir.
Dan di balik tawa yang riuh,
ada ratap yang tak pernah jadi bahasa
hanya diam yang tajam seperti pedang,
dan hening yang berat seperti kutuk.
Aku menyeret langkah
seperti arwah yang dipaksa hidup dalam tubuh sekarat.
Kakiku gemetar memijak takdir yang bukan pilihanku,
namun tertulis di nadi sejak sebelum aku menangis pertama kali.
Tubuh ini, bukan lagi wadah, tapi penjara.
Jiwaku menggigil dalam kandang daging,
menjerit diam di balik tulang-tulang letih.
Aku ingin pulang...
bukan ke rumah yang terbuat dari batu,
melainkan ke tanah air yang tersembunyi
di balik lapisan luka yang tak pernah mengering.
Kampung halaman dalam diriku terbakar sunyi,
menjadi reruntuhan dari cinta yang tak pernah sampai.
Jika ada yang mendengar…
kumohon, jemput aku dari gelap ini.
Aku tenggelam. Dan nadiku mulai berbisik
seperti peluit darurat
yang hanya bisa didengar oleh mereka
yang juga pernah ingin tiada.
Aku tersesat dalam śīta yang tak bernama,
dikelilingi sunyi yang membatu.
Jika masih ada satu jiwa….
dekaplah aku,
sebelum kesadaranku benar-benar padam.
Sebuah puisi berjudul "Aku - Jivanmukta" oleh Ajeng Trisna Dewi, mahasiswa semester 4 prodi Hukum Keluarga Islam FSH UINSA
0 Komentar