Editor: Khansa
![]() |
Research Methods | Sumber: Freepik. com |
Mahasiswa di Indonesia memiliki satu keluhan yang nyaris seragam terhadap perkuliahan mereka: mata kuliah metodologi penelitian itu susah dipahami. Keluhan ini tidak hanya datang dari mahasiswa ilmu sosial seperti sosiologi atau psikologi, tetapi juga dari jurusan teknik, kedokteran, hingga hukum. Hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan mendasar: mengapa metodologi penelitian, yang seharusnya menjadi gerbang utama menuju pemahaman riset ilmiah, justru dianggap sebagai momok yang sulit dan membingungkan?
Fenomena ini sebenarnya bukan sekadar soal sulitnya materi. Namun lebih dari itu, kita sedang menghadapi kegagalan sistemik dalam membangun tradisi diskusi yang sehat mengenai metodologi penelitian, khususnya dalam ruang-ruang akademik berbahasa Indonesia. Buku-buku yang beredar di pasaran sering kali bersifat sangat praktis dan preskriptif. Mereka berisi panduan “pakai ini, lakukan itu” layaknya buku resep masak. Misalnya, jika Anda ingin melakukan penelitian kualitatif, Anda dianjurkan untuk melakukan wawancara. Sedangkan penelitian kuantitatif, maka kuesionerlah solusinya. Namun, penjelasan mendalam mengenai dasar filosofis, epistemologis, dan perdebatan antara pendekatan positivistik dengan interpretatif hampir tidak pernah diulas.
Akibatnya, mahasiswa tidak benar-benar memahami “mengapa” mereka harus memilih satu metode tertentu, atau bagaimana metode itu relevan dengan pertanyaan riset yang mereka ajukan. Bab tentang metodologi dalam skripsi atau tesis pun berubah menjadi sekadar pengisian formulir. Mereka menjalani proses penelitian hanya sebagai prosedur teknis administratif, bukan sebagai sebuah proses intelektual yang mendalam dan bermakna.
Jejak Pemikiran Besar dan Pergulatan Metodologis
Metodologi penelitian sesungguhnya adalah medan tempur intelektual yang menuntut pemahaman mendalam. Untuk memahami kerumitannya, kita perlu menilik sejarah dan filosofi ilmu yang melatari metode penelitian. Tokoh besar seperti Auguste Comte, yang dikenal sebagai bapak positivisme, mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan harus didasarkan pada observasi empiris dan pengukuran kuantitatif. Pendekatan ini menempatkan fakta yang dapat dihitung sebagai sumber utama pengetahuan.
Namun, dalam ranah ilmu sosial, tidak semua bisa diukur atau dihitung dengan angka. Wilhelm Dilthey, seorang filsuf Jerman, menegaskan bahwa ilmu-ilmu sosial harus memperhatikan pemahaman subjektif manusia—sesuatu yang tidak bisa dijangkau dengan metode kuantitatif semata. Max Weber kemudian mengembangkan gagasan ini melalui konsep verstehen, yaitu pemahaman mendalam terhadap makna subjektif tindakan sosial. Sebaliknya, Emile Durkheim tetap percaya pada fakta sosial sebagai “benda” yang dapat diamati secara objektif dan dikuantifikasi.
Debat antara Weber dan Durkheim sebenarnya adalah cermin dari perbedaan paradigma dalam penelitian: apakah kita memandang realitas sosial sebagai sesuatu yang bisa diukur secara objektif, ataukah harus diinterpretasikan secara subjektif? Perdebatan ini membuka ruang diskusi yang luas tentang epistemologi dan ontologi dalam ilmu pengetahuan.
Pada awal abad ke-20, Thomas Kuhn memperkenalkan perspektif baru melalui teorinya tentang revolusi paradigma. Dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions, Kuhn menyatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan bukanlah proses linear yang terus menerus, melainkan melibatkan perubahan paradigma yang drastis. Ini berarti ilmu pengetahuan sangat dipengaruhi oleh konteks sosial dan budaya di mana ia berkembang.
Di sisi lain, Michel Foucault mengkritik hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Menurutnya, apa yang kita anggap sebagai “ilmu” dan “kebenaran” sebenarnya adalah hasil dari operasi diskursif yang dominan dan berkuasa. Dalam konteks ini, metodologi penelitian bukan hanya persoalan teknik atau prosedur, melainkan juga berkaitan erat dengan politik pengetahuan: siapa yang berhak berbicara, siapa yang diteliti, dan bagaimana suara-suara tertentu bisa ditekan atau diabaikan.
Sayangnya, diskursus yang kaya dan mendalam seperti ini jarang masuk ke ruang-ruang kuliah di Indonesia. Banyak dosen memilih jalan pintas dengan hanya mengajarkan metode secara teknis agar mahasiswa cepat selesai. Hal ini diperparah oleh tekanan birokrasi melalui pemikiran bahwasanya penelitian dipandang sebagai kewajiban administratif, bukan sebagai panggilan intelektual untuk memperluas cakrawala pengetahuan.
Melihat Metodologi sebagai Jantung Riset, Bukan Sekadar Bab Ketiga
Akibat dari pendekatan pragmatis ini adalah lahirnya generasi akademisi yang teknis namun kurang kritis. Mereka mampu membuat tabel statistik dan diagram, tapi sulit membaca makna data secara mendalam. Mereka dapat melakukan wawancara, tapi belum tentu mampu menafsirkan jawaban responden dengan pendekatan teori dan refleksi kritis. Ini bukan hanya persoalan keterampilan, melainkan juga kegagalan intelektual.
Di era big data, algoritma, dan maraknya informasi yang tidak terverifikasi, pemahaman metodologis yang kuat menjadi kebutuhan mendesak. Metodologi bukan sekadar alat untuk mengumpulkan data, tapi jendela bagi kita untuk memahami dunia secara kritis dan bertanggung jawab.
Untuk itu, kita perlu membangun kembali ekosistem pembelajaran metodologi yang reflektif dan kritis. Buku-buku metodologi harus bertransformasi dari sekadar panduan teknis menjadi karya pemikiran yang membangkitkan diskusi dan kontemplasi. Dosen harus diberi ruang dan keberanian untuk menghadirkan perdebatan klasik dan kontemporer dalam kelas, mendorong mahasiswa agar tidak takut bertanya dan berpikir kritis.
Beruntung, ada sejumlah buku yang dapat menjadi jembatan untuk memahami metodologi penelitian secara komprehensif dan mendalam. Berikut beberapa rekomendasi buku yang layak dibaca:
1. "The Logic of Scientific Discovery" karya Karl Popper — buku klasik ini mengulas secara filosofis prinsip falsifikasi serta logika yang mendasari metode ilmiah.
2. "Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches" oleh John W. Creswell — buku yang sangat populer untuk memahami berbagai desain riset beserta kelebihan dan kekurangannya.
3. "Social Research Methods" oleh Alan Bryman — buku yang mengupas metodologi penelitian sosial dengan penjelasan yang mudah dan lengkap.
4. "The Structure of Scientific Revolutions" oleh Thomas Kuhn — buku ini memberikan wawasan tentang perkembangan ilmu pengetahuan melalui paradigma yang bergeser.
5. "Interpretive Phenomenological Analysis" oleh Jonathan A. Smith — buku penting bagi yang tertarik pada metode kualitatif dan pendekatan interpretatif.
6. "Qualitative Inquiry and Research Design" oleh John W. Creswell dan Cheryl N. Poth — buku ini mengupas secara mendalam berbagai pendekatan dalam riset kualitatif.
7. "Positivism and Sociology" oleh Bryan S. Turner — buku yang membahas pemikiran positivisme dan tantangan yang dihadapinya dalam ilmu sosial.
8. "The Foucault Effect: Studies in Governmentality" yang disunting oleh Graham Burchell — menjelajahi konsep Foucault tentang hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan.
Dengan mengakses sumber-sumber ini, mahasiswa dan peneliti dapat memperkaya pemahaman mereka, tidak hanya soal teknik, tetapi juga tentang filosofi ilmu dan konteks sosial budaya yang membentuk pengetahuan.
Dalam konteks pendidikan tinggi di Indonesia, penting kiranya kita melihat metodologi penelitian bukan sebagai bab ketiga yang sekadar diisi lalu dilewati, melainkan sebagai jantung pencarian ilmiah. Sebab, di sinilah terletak kerangka berpikir, prinsip epistemologis, dan pertanggungjawaban intelektual yang menjadi fondasi setiap riset bermutu.
Jika kita terus mengabaikan aspek ini, kita hanya akan melahirkan riset-riset yang datar, tanpa jiwa, dan sulit berkontribusi secara nyata terhadap ilmu pengetahuan dan masyarakat luas. Sebaliknya, dengan membangun kembali tradisi reflektif dan kritis dalam pembelajaran metodologi, kita tidak hanya melahirkan peneliti yang terampil secara teknis, tetapi juga intelektual yang mampu membaca dunia dengan cermat dan bertanggung jawab.
Kalau kita ingin masa depan penelitian Indonesia lebih cerah, sudah saatnya kita mulai serius membangun tradisi akademik yang kuat di bidang metodologi penelitian. Sebuah tradisi yang tidak hanya mengajarkan “bagaimana” melakukan riset, tetapi juga “mengapa” dan “untuk siapa” riset itu dilakukan. Dengan demikian, metodologi tidak lagi menjadi momok, tetapi menjadi jantung pengetahuan dan pencarian kebenaran yang hidup dan bermakna.
0 Komentar