Oleh: Alfian Muslim
Editor: Erij
![]() |
Gus Ulil dan Aktivis Greenpeace di Kompas TV | Sumber: Youtube Kompas TV |
Beberapa pernyataannya baru-baru ini, Ulil Abshar Abdalla—tokoh publik dan intelektual Nahdlatul Ulama—melontarkan narasi yang pada mulanya terdengar rasional: kita, katanya, harus memperjuangkan lingkungan secara masuk akal, tidak ekstrem, tidak ideologis, tidak terjebak pada histeria atau romantisme ekologi. Ia membelah isu lingkungan menjadi dua: skala mikro (small habitat) seperti pengelolaan sampah, dan skala makro (big habitat) seperti perubahan iklim global yang, katanya, terlalu ideologis dan sering kali menjebak dalam polarisasi. Ia menyindir aktivis lingkungan dengan istilah “wahabi lingkungan”, menyarankan agar tidak menolak pertambangan secara membabi buta, dan mengajak masyarakat untuk tetap berpikir moderat dalam menghadapi krisis ekologis.
Namun, justru di situlah letak masalahnya. Dalam usahanya untuk tampak seimbang dan moderat, Gus Ulil justru jatuh ke dalam perangkap yang lebih berbahaya: menyederhanakan persoalan kompleks menjadi dikotomi dangkal, lalu mengabaikan fondasi paling penting dalam seluruh wacana lingkungan: data ilmiah. Kita tidak sedang berdebat tentang apakah manusia boleh mengambil dari alam atau tidak. Sejak awal sejarah manusia memang bersandar pada alam. Tapi justru karena itulah, keberlanjutan relasi itu tidak bisa dibicarakan hanya dengan etika umum dan logika moral belaka atau bahkan logika induksi umum dengan bumbu kaidah-kaidah hukum Islam. Lingkungan adalah persoalan ilmiah, sosial, politik, dan ekonomi sekaligus. Dan yang tak bisa dinegosiasikan adalah krisisnya yang nyata dan didorong oleh mesin-mesin yang bekerja dengan sangat sistemik.
Ambil satu contoh: sektor pertambangan batu bara. Indonesia adalah produsen batu bara terbesar ketiga di dunia. Emisi metana yang dihasilkan dari tambang-tambang batu bara Indonesia diperkirakan 8 sampai 10 kali lipat lebih tinggi dari laporan resmi pemerintah. Padahal metana adalah gas rumah kaca yang daya rusaknya terhadap iklim bisa mencapai 86 kali lebih kuat daripada CO₂ dalam jangka pendek. Laporan lembaga Ember pada awal 2024 menyebutkan bahwa emisi metana tahunan dari tambang batu bara Indonesia setara dengan hampir dua kali lipat seluruh emisi tahunan kota Jakarta. Ini bukan “ekstremisme” aktivis. Ini sains. Ini data.
Kita juga tidak bisa lagi membicarakan isu lingkungan sebagai sesuatu yang terpisah antara lokal dan global. Logika Gus Ulil yang memisahkan “small habitat” dari “big habitat” hanya tampak masuk akal di atas kertas. Di dunia nyata, hilangnya satu hektare hutan di Kalimantan berdampak pada perubahan cuaca ekstrem di desa-desa pesisir Jawa. Kekeringan yang semakin sering terjadi di Pulau Jawa tidak hanya merusak pertanian, tapi juga memicu konflik sosial dan migrasi paksa. Krisis lingkungan adalah jaringan kompleks sebab-akibat yang tak bisa dipecah seperti menu pilihan sarapan.
Menurut laporan Living Planet Index 2020 oleh WWF, populasi satwa liar global telah menurun hingga 68 persen dalam lima dekade terakhir. Sebagian besar kerusakan tersebut bersumber dari deforestasi dan aktivitas ekstraktif, termasuk tambang. Indonesia adalah rumah bagi 17 persen keanekaragaman hayati dunia, tapi 25 persen mamalia endemiknya kini berada di ambang kepunahan. Menjaga ekosistem bukan soal “ideologi lingkungan”, tapi soal bertahan hidup—bagi manusia maupun spesies lain yang hidup bersama kita.
Gus Ulil mengatakan bahwa membangun narasi ekstrem soal lingkungan bisa memicu penolakan dan memecah konsensus sosial. Tapi di balik kalimat itu ada bahaya lain: bahwa penundaan, peredaman, dan pemoderasian narasi justru bisa memberi ruang pada perusakan lingkungan yang tak terkendali. Dunia telah menghabiskan lebih dari US\$1,7 triliun setiap tahun untuk mensubsidi aktivitas ekonomi yang merusak lingkungan. Sementara itu, biaya yang harus ditanggung akibat dampak krisis iklim—bencana alam, migrasi, krisis pangan dan air—bisa mencapai hingga US\$25 triliun per tahun menurut laporan terbaru IPBES.
Dengan kata lain, yang ekstrem bukanlah para aktivis yang menuntut moratorium tambang atau transisi energi berkeadilan. Yang ekstrem adalah fakta bahwa kita membiarkan industri mengekstraksi kekayaan alam tanpa kontrol yang cukup, sambil menyebut suara-suara kritis sebagai “wahabi lingkungan”. Dalam sejarah, semua perubahan besar—termasuk penghapusan perbudakan, pengakuan hak perempuan, atau demokratisasi—berawal dari suara-suara yang pada masanya disebut ekstrem. Yang kita butuhkan hari ini bukan “moderatisme tanpa isi”, melainkan keberanian moral dan intelektual untuk menyuarakan apa yang genting.
Dalam dunia yang sedang menghadapi kerusakan ekologis sistemik, berpikir moderat bukan lagi keutamaan jika “moderasi” itu berarti penyangkalan terhadap data, dan justifikasi terhadap status quo yang membunuh pelan-pelan. Justru karena isu lingkungan sangat kompleks, maka penyederhanaan semacam ini menjadi sangat menyesatkan. Kita harus menolak logika yang menggiring kita pada netralitas semu, karena dalam konteks krisis ekologis, netralitas seringkali berarti berpihak pada mereka yang punya kuasa untuk merusak.
Narasi lingkungan bukan sedang dibajak oleh ideologi, tapi justru sedang dirongrong oleh eufemisme retoris yang menenangkan tapi tidak menyelesaikan. Dalam situasi yang sangat genting ini, kita tidak butuh “akal sehat” yang netral. Kita butuh keberpihakan yang berpijak pada ilmu pengetahuan, keadilan sosial, dan keberanian untuk melawan kerusakan—sekalipun itu dianggap ekstrem.
0 Komentar