![]() |
Foto orang jatuh cinta di waktu senja|Sumber: Freepik.com |
Pagi di Maindu, Kecamatan Kedungpring, Kab. Lamongan. Langit tipis, embun menggantung di ujung daun. Kami berjalan pelan menyusuri jalan setapak basah. Di kiri dan kanan, bambu, mangga, dan jeruk berdiri rapi. Angin bertiup pelan, memainkan daun kering. Suasana syahdu. Pagi yang menawarkan jeda dari hiruk pikuk kota.
Langit sedikit mendung, awan putih menggantung rendah. Matahari mengintip, memancarkan cahaya yang tidak menyengat. Pagi semacam ini sulit ditemukan di Surabaya yang selalu sibuk. Pagi ini, waktu yang tepat untuk sebuah kisah perenungan.
Perjalanan terhenti di depan sebuah rumah tua. Berdiri tenang di antara rimbunnya pohon mangga dan belimbing. Dindingnya dari papan kayu keropos dicat putih pucat, atap sengnya berkarat. Terasnya kecil, hanya dialasi tikar bambu usang tapi bersih. Rumah itu memancarkan kehadiran tersendiri.
Di teras itu duduk sepasang suami istri. Rambut mereka memutih, kulit wajah berkeriput, namun senyum mereka hadir seperti cahaya pagi. Kehangatan terasa dari cara mereka saling diam dan duduk bersebelahan. Bu Sumise menggenggam cangkir teh, sementara Pak Kastari merapikan sandal jepitnya.
Sambutan mereka tanpa basa-basi. "Monggo, ngaso dhisik," ucap Bu Sumise sambil tersenyum, mengundang kami duduk. Aku memperhatikan detail dalam rumah mereka: foto pernikahan buram di dinding, celengan ayam dari tanah liat, dan kalender lama. Setiap benda seolah memiliki narasi.
Kami memperkenalkan diri, menyampaikan maksud mendokumentasikan kisah hidup warga desa. Mereka tidak banyak bertanya. Sebaliknya, mereka mulai bercerita. Dalam tutur mereka yang lembut, tidak ada kesan menggurui, hanya keikhlasan. Pak Kastari bercerita dengan bahasa campur Indonesia dan Jawa halus. Suaranya berat, tidak terbata. Sesekali ia melontarkan candaan ringan, disusul tanggapan Bu Sumise yang tak kalah hangat. Keduanya tampak saling memahami dan mendukung.
Ketika aku menanyakan nama, mereka menyebutkan pelan: "Kulo Kastari. Niki garwanipun, Sumise." Nama-nama yang telah menyertai satu sama lain selama lebih dari empat dekade. Wajah mereka berubah lembut saat menyebut nama pasangan masing-masing.
***
Pak Kastari adalah petani. Ia telah menyatu dengan tanah dan alam Desa Maindu sejak muda. Setiap pagi, ia berjalan menuju sawah, menggenggam cangkul usang. Di belakang rumahnya, terbentang kebun kecil ditanami pisang, jagung, dan beragam tumbuhan lain. "Selagi bisa tumbuh, ya saya tanam," katanya. Kehidupannya sederhana, namun ia menemukan maknanya.
Bu Sumise adalah penopang di dalam rumah. Ia seorang ibu rumah tangga yang piawai memasak dan merawat ikatan dengan diam-diam. Setiap hari, ia menyiapkan makanan untuk suaminya dengan kelembutan. Meski jarang terlihat di luar rumah, perannya tidak dapat diabaikan. Ia adalah inti dari rumah itu, penjaga kehangatan.
Mereka adalah pasangan tanpa anak. Tidak ada panggilan "ayah" atau "ibu" terucap di rumah itu. Namun, mereka adalah dua manusia yang saling memilih setiap hari. Ditinggalkan, dikhianati, dikecewakan—semuanya pernah singgah. Namun satu hal tidak pernah pergi: kesetiaan. Cinta mereka bukan cinta yang dihiasi bunga-bunga, melainkan cinta yang bekerja setiap hari.
"Saya ketemu Bu Sumise waktu masih muda," kata Pak Kastari, sambil tertawa kecil. Sorot matanya berubah setiap kali menyebut nama istrinya; ada cahaya lembut yang menyelinap.
Pertemuan mereka tidak dramatis. Bermula di Surabaya, Pak Kastari bekerja sebagai tukang becak, saat itu ia duda. Di tengah kesibukan kota, ia bertemu Bu Sumise—seorang janda pekerja pabrik permen. Pertemuan mereka tidak dirancang, namun terjadi begitu saja. Dari obrolan singkat, tumbuh rasa sederhana namun tulus.
Tak lama setelah itu, mereka menikah di Surabaya. Bukan pesta mewah, tapi cukup untuk mengikat janji. Keduanya memutuskan pulang ke Desa Maindu—kampung halaman ibu dari Bu Sumise. Rumah tua yang mereka tempati adalah warisan. Mereka menikah bukan karena harta, apalagi paksaan. "Kalau waktu itu saya cari orang kaya, mungkin bukan dia suaminya sekarang," ucap Bu Sumise tenang. Ia memilih seseorang yang mau bersusah-susah bersama.
Di masa itu, menikah artinya bukan hanya berbagi atap, tapi berbagi lapar dan kenyang. Mereka memulai dari nol. Tak punya rumah sendiri, tinggal menumpang, dan beberapa kali harus berpindah tempat tinggal karena kondisi ekonomi. Namun mereka tetap saling menggenggam tangan. "Yang penting itu saling mau diajak susah," kata Pak Kastari. Cinta mereka ditempa oleh dapur seadanya, musim paceklik, dan pekerjaan serabutan. Di tengah keterbatasan itu, cinta mereka justru bertahan. Tak banyak pelukan, tak banyak kata-kata manis. Namun setiap hari, ada upaya untuk saling menjaga.
Kini, setelah lebih dari empat puluh tahun berlalu, pertemuan yang tampak biasa itu ternyata menjadi awal dari sebuah perjalanan panjang. Sebuah ikatan yang tidak sempurna, namun nyata. Mereka tetap bersama, bukan karena tak ada badai, tapi karena mereka memilih untuk tidak melepaskan tangan.
***
Setelah bertahun-tahun menikah, rumah mereka tetap sunyi. Tidak pernah terdengar tangis bayi atau tawa riang anak kecil. Bu Sumise bercerita bahwa ia sempat menaruh harapan besar pada kehamilan pertamanya. Namun, kenyataan pahit datang dari seorang dokter: rahimnya tidak bisa mengandung. "Saya sempat merasa nggak berguna," ucap Bu Sumise pelan. Tangannya menggenggam jemari Pak Kastari dengan kuat.
Namun, di saat banyak pria mencari keturunan di tempat lain, Pak Kastari justru menguatkan hati istrinya. Ia tidak pernah meminta Bu Sumise untuk berobat. Ia hanya berkata: "Menikah itu bukan cuma buat punya anak." Mereka menjalani hari-hari dengan cara mereka sendiri: mengurus rumah, berbagi cerita, bercocok tanam, memelihara ayam, dan sesekali menerima kunjungan keponakan atau tetangga. "Kalau pengin ramai, kami main ke rumah tetangga yang punya cucu," kata Pak Kastari sambil tersenyum. Tidak ada kecemburuan, tidak ada penyesalan. Hanya penerimaan.
Kisah cinta Pak Kastari dan Bu Sumise tak hanya diuji oleh waktu dan ketiadaan anak, tapi juga oleh tanah rantau. Setelah menikah, mereka memutuskan pergi ke Gresik untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Mereka membawa satu keponakannya dan berangkat ke kota industri itu, bekerja sebagai buruh pabrik. Mereka menumpang di sebuah kamar kontrakan kecil selama 14 tahun.
Namun, kota besar kadang menghadirkan godaan. Dalam lelah bekerja sebagai buruh bangunan, Pak Kastari mulai menjauh. Ia jatuh ke dalam pelukan perempuan lain. "Saya khilaf waktu itu," ujar Pak Kastari lirih.
Bu Sumise tahu. Ia melihat perubahan suaminya. Namun ia tak meledak dalam kemarahan. Ia memilih pergi. Meninggalkan Gresik dan pulang ke Maindu seorang diri. "Saya nggak marah, cuma saya merasa sudah nggak dianggap," ucap Bu Sumise, dengan mata yang tak lagi menangis, tapi tetap menyimpan luka.
Bagi Pak Kastari, kepergian Bu Sumise seperti dunia runtuh. "Waktu dia nggak ada, saya nggak bisa tidur tenang. Rumah di Gresik jadi sunyi," kenangnya. Kesadaran itu membawanya pada satu keputusan besar: pulang. Ia tak membawa hadiah, hanya penyesalan dan tekad memperbaiki. Ia pulang ke Desa Maindu dan mengetuk pintu rumah tempat Bu Sumise berlindung. "Saya cuma bilang: saya minta maaf," ucapnya dengan nada berat. Bu Sumise, dengan keteguhan hati, memilih membuka pintu lagi—karena ia percaya, cinta bisa diperbaiki jika masih ada kejujuran dan penyesalan.
Keputusan untuk kembali bukan akhir dari masalah, tapi awal dari perjalanan panjang untuk memperbaiki. Keberanian Bu Sumise diuji. "Saya nggak langsung peluk dia," kata Bu Sumise sore itu. "Tapi saya juga nggak nutup pintu." Kalimat itu ringan diucapkan, namun dalam maknanya. Ia membiarkan pintu itu tetap setengah terbuka—sebuah isyarat bahwa kepercayaan bisa dipulihkan, tetapi harus diupayakan.
Pak Kastari, yang pulang dengan beban penyesalan, tak langsung menemukan kenyamanan. Tapi ia menemukan harapan. Bukan dalam kata-kata manis, melainkan dalam keberadaan istrinya yang masih mau membuka pintu. Tak ada tangisan atau drama, hanya keheningan. Dan dari situlah mereka mulai merenda ulang rumah tangga. Mereka kembali hidup bersama di Desa Maindu, sebagai dua orang yang sadar bahwa hubungan tidak dibangun dari ingatan sempurna, melainkan dari kemauan untuk saling menerima kekurangan. Rumah mereka tetap sederhana. Tapi di dalamnya, cinta tumbuh dalam diam.
Bu Sumise memilih untuk tetap tinggal, bukan karena ia tidak bisa pergi. Justru karena ia tahu bahwa kadang cinta bukan tentang bertahan tanpa luka, melainkan tentang tetap bertahan meski pernah terluka. Dan Pak Kastari, menunjukkan bahwa penyesalan tak cukup hanya diucapkan, tapi dibuktikan dengan perubahan. Dari keduanya, aku belajar bahwa kesetiaan kadang hadir dalam bentuk pintu yang tidak ditutup rapat.
***
Hari ini, usia pernikahan mereka genap empat puluh tahun. Bukan angka yang mudah untuk dicapai, apalagi jika dijalani tanpa kehadiran anak, dengan luka dari masa lalu, dan dengan tantangan hidup yang tidak pernah berhenti.
Di tengah masyarakat yang kadang memandang sebelah mata pasangan tanpa keturunan, Bu Sumise dan Pak Kastari tetap berdiri teguh. "Ya memang rezeki kami bukan di anak," ujar Bu Sumise dengan nada yang sudah berdamai. Sebuah bentuk kematangan dalam mencintai takdir.
Ketika kesetiaan diuji dengan pengkhianatan, hubungan mereka nyaris runtuh. Yang mengejutkan bukanlah bahwa Pak Kastari pernah bersalah—melainkan bahwa mereka sanggup melewati masa itu dan tetap bersama. "Kalau saya egois, mungkin sudah cerai dari dulu," kata Bu Sumise dengan jujur. Pak Kastari pun tak pernah menyangkal masa lalunya. "Kalau dia nggak sabar, mungkin saya sudah ditinggal," katanya pelan. Ada syukur dalam suaranya. Syukur karena istrinya telah memberinya kesempatan untuk menjadi lebih baik.
Mereka tidak saling menuntut untuk menjadi pasangan ideal. Mereka hanya belajar untuk tetap menjadi sahabat satu sama lain. Hari-hari mereka kini dipenuhi dengan rutinitas sederhana. Dari kebersahajaan itulah justru cinta mereka tumbuh subur. Tidak gaduh, tidak ramai, tapi kuat dan berakar dalam.
Aku tersenyum bersama mereka sore itu. Bukan karena kisah mereka sempurna—jauh dari itu. Tapi justru karena kisah mereka begitu manusiawi, begitu nyata.
***
Dari Pak Kastari dan Bu Sumise, aku belajar bahwa cinta tidak selalu berarti bahagia sepanjang waktu. Kadang cinta justru diuji di saat-saat yang paling rapuh—saat janji mulai terasa berat, saat kenyataan tak lagi seindah harapan, dan saat luka terasa lebih nyata daripada tawa. Di situlah cinta menunjukkan bentuknya yang paling jujur: bukan manis kata-kata, tapi ketulusan dalam bertahan.
Tak semua pasangan sanggup melewati kehidupan tanpa keturunan. Tak semua pasangan mampu bangkit setelah dikhianati. Tapi Pak Kastari dan Bu Sumise melakukannya, bukan karena mereka sempurna, tapi karena mereka memutuskan untuk saling memaafkan. Dalam hidup mereka, cinta tak datang dalam balutan bunga dan kejutan manis, melainkan dalam bentuk setia menyapu halaman bersama, dan diam-diam memperhatikan satu sama lain saat kelelahan mulai terasa.
Aku ingat bagaimana Bu Sumise menyebut bahwa ia bisa saja pergi, tapi memilih tinggal. Dan Pak Kastari, yang tak menampik masa lalunya, memilih kembali dan memperbaiki. Pilihan-pilihan kecil itu, yang barangkali tak terlihat besar bagi dunia luar, ternyata adalah pondasi dari rumah tangga mereka yang sudah berdiri selama empat puluh tahun.
Kata-kata mereka yang paling membekas bagiku datang dari obrolan sederhana di beranda. "Cinta itu bukan hanya sewaktu muda dan sehat,” ucap Bu Sumise dengan nada yang penuh makna. “Tapi waktu tua, waktu sakit, waktu kecewa... kalau masih mau bertahan, itu namanya cinta.” Kalimat itu menggema lama di kepalaku. Karena sesungguhnya, cinta sejati bukan tentang bagaimana hubungan itu terlihat dari luar, tapi seberapa dalam ikatan itu tetap hidup di dalam.
Sepasang suami istri ini mengajarkanku bahwa kesetiaan tidak harus diumbar dalam unggahan media sosial atau kata-kata puitis. Kesetiaan adalah keputusan harian. Kadang melelahkan, kadang menyakitkan, tapi selalu bermakna jika dijalani dengan kejujuran dan penerimaan. Bahkan ketika satu pihak pernah menyakiti, mereka membuktikan bahwa hubungan masih bisa diselamatkan jika keduanya mau belajar dan saling merawat luka.
Dari pertemuan ini, aku pulang bukan hanya dengan catatan lapangan. Aku pulang dengan pelajaran hidup. Bahwa dalam dunia yang serba instan ini, cinta yang sabar dan setia adalah harta yang langka. Dan Pak Kastari serta Bu Sumise adalah pengingat bahwa cinta sejati tidak tumbuh dari kesempurnaan, tapi dari keberanian untuk saling menerima—hingga usia menua bersama.
Setelah perbincangan sore itu, aku melangkah meninggalkan rumah sederhana Pak Kastari dan Bu Sumise dengan langkah yang lebih pelan. Hati ini dipenuhi rasa yang sulit dijelaskan—antara haru, kagum, dan syukur. Kisah mereka tak hanya akan kutulis, tapi juga akan menetap lama dalam ingatanku.
Di zaman yang serba cepat dan mudah menyerah, kisah seperti milik mereka terasa seperti oase yang jernih. Mereka tak pernah viral, tak pernah diliput media, dan tak banyak yang tahu tentang perjuangan panjang mereka. Tapi justru dari kesederhanaan itulah muncul kekuatan besar: bahwa cinta sejati memang masih mungkin ditemukan, asal ada dua orang yang mau bertahan dan saling menggenggam meski keadaan tak sempurna.
Bu Sumise tak pernah menuntut dunia untuk mengerti luka-lukanya. Ia hanya memilih untuk tetap mencintai. Pak Kastari pun tak berkoar soal penyesalannya. Ia membuktikan tekadnya dengan tinggal, dengan berubah, dengan menjadi suami yang lebih setia. Dan dari sikap mereka itulah, cinta yang dahulu hampir punah, kembali menyala—pelan-pelan, tapi pasti.
Aku belajar bahwa cinta sejati bukan selalu tentang memiliki keturunan, rumah besar, atau kehidupan glamor. Cinta bisa hadir di dapur kecil, di meja makan tua, atau di beranda rumah tempat dua pasang mata saling diam tapi saling mengerti. Di sanalah cinta tumbuh—di tempat-tempat paling tenang dan tak terduga.
Kisah Pak Kastari dan Bu Sumise adalah kisah tentang ketabahan. Tentang dua orang yang memutuskan untuk tetap berjalan berdampingan, bahkan saat satu dari mereka sempat tersesat. Ini bukan cerita cinta ala dongeng, tapi kisah cinta yang nyata. Penuh luka, penuh air mata, namun juga penuh pengampunan dan keberanian untuk tetap saling memilih—lagi dan lagi.
Dan kini, setelah empat puluh tahun bersama, mereka membuktikan satu hal: bahwa cinta sejati memang tidak pergi. Ia tinggal. Ia menunggu. Ia tumbuh. Bahkan ketika dunia mengira semuanya telah selesai, cinta diam-diam masih bernafas di antara mereka. Dan kisah cinta mereka... akan tetap hidup, bahkan dalam keheningan. Sebab cinta yang tulus, tak pernah benar-benar pergi.
0 Komentar