Oleh: Sufriadi
Editor: Khansa
![]() |
Tergadainya Kemerdekaan. | Sumber: Pinterest. com |
Tujuh belas Agustus selalu dirayakan sebagai puncak kebanggaan bangsa. Kita melihat bendera merah putih berkibar, derap langkah pasukan pengibar bendera, pidato yang menggelora, serta wajah-wajah rakyat yang tersenyum di layar-layar digital. Namun, mari kita bertanya dengan jujur: benarkah kemerdekaan ini telah menjadi milik semua warga negara? Ataukah yang benar-benar merdeka hanya segelintir orang yang berada di puncak kekuasaan dan kenyamanan?
Realitas di lapangan tak seindah panggung perayaan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, per Maret 2024, masih ada 25,22 juta penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Di DKI Jakarta, kota yang menjadi wajah modern Indonesia, tercatat lebih dari 7.500 orang masih menjadi tunawisma (DKI, 2024). Di balik gegap gempita upacara kenegaraan, masih ada anak-anak yang mengais sisa makanan dari tempat sampah, ibu-ibu yang menggigil di kolong jembatan, dan ayah yang pulang dengan tangan kosong setelah seharian mencari kerja serabutan.
Ini bukan sekadar potret kemiskinan. Ini adalah cermin yang memantulkan kenyataan bahwa kemerdekaan belum benar-benar membumi. Sementara itu, pesta kemerdekaan terus dirayakan dengan semarak, seolah-olah keadilan dan kesejahteraan telah merata.
Lebih menyakitkan lagi, ketika rakyat bergulat dengan harga kebutuhan pokok yang terus naik, pejabat negara justru larut dalam kenyamanan jabatan. Pada 2025, gaji pokok anggota DPR mencapai Rp 4,2 juta, namun dengan berbagai tunjangan, penghasilan total mereka bisa menembus Rp 70 juta per bulan. Di sisi lain, upah minimum nasional masih berkisar di angka Rp 2-4 juta, tergantung wilayah. Ketimpangan ini menjadi ironi di tengah slogan “kemerdekaan untuk semua”.
Kebijakan publik pun sering kali tidak berpihak pada yang lemah. Berbagai keputusan strategis justru lebih mencerminkan kepentingan elit politik dan pemilik modal. Kata “merdeka” memang terdengar megah dalam pidato, tetapi tidak selalu terasa di tanah tempat rakyat kecil berpijak.
Inilah wajah kemerdekaan yang timpang: megah di istana, namun rapuh di jalanan.
Maka, pertanyaan yang seharusnya kita lontarkan dengan lantang adalah: apakah bangsa ini sungguh-sungguh merdeka? Apakah kemerdekaan berarti sekadar mengibarkan bendera dan menggelar seremoni tahunan yang ditonton jutaan mata, sementara hati rakyat terkubur dalam derita?
Jangan-jangan, kita hanya terjebak dalam ilusi. Kita menutup realitas yang gelap dengan tirai gemerlap. Padahal, kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga dari ketidakadilan, kesenjangan, dan pengabaian terhadap martabat manusia.
Tugas kita bersama adalah memastikan bahwa kemerdekaan benar-benar terasa di setiap sudut negeri dari pusat kota hingga pelosok desa, dari ruang sidang hingga rumah-rumah petak. Selama kemerdekaan belum menjamin keadilan sosial, belum mengenyangkan perut rakyat, dan belum menghadirkan kesejahteraan yang merata, maka perayaan ini tak lebih dari seremoni kosong.
Kemerdekaan kita, pada akhirnya, masih tergadai.
0 Komentar