Mereka yang (mengaku) Membela Fakta

Penulis: Alfian Muslim

Editor: Raka

Debat Sengit Ferry Irwandi dan Gusti Aju Dewi | Sumber: YT CURHAT BANG Denny Sumargo

Di tengah kabut informasi, suara kebenaran sering kali tenggelam dalam gemuruh opini. Debat publik bukan lagi soal mencari terang, melainkan adu suara paling keras. Kasus terbaru yang melibatkan Ferry Irwandi, Founder Malaka Project, dan Gusti Aju Dewi dalam podcast Denny Sumargo adalah cermin retak dari wajah diskusi kita hari ini. Sebuah perseteruan yang tampaknya sederhana — antara dua figur publik — justru menyingkap realitas yang lebih dalam: bahwa kepedulian bisa dibajak, dan kebenaran bisa dikaburkan atas nama etika yang semu.

Gusti Aju Dewi selama ini dikenal sebagai seorang pemerhati literasi digital dan aktivis anti-hoaks. Ia kerap tampil sebagai sosok yang tegas dalam mempromosikan metode DFC (Debunking, Fact-Checking). Namun, dalam perjumpaannya dengan Ferry Irwandi di ruang podcast, terlihat jelas bahwa prinsip yang ia bawa goyah ketika berhadapan dengan data dan realitas.

Poin pertama, Aju Dewi menuding Ferry menyebarkan konten provokatif terkait TNI dengan memosting poster “Hilang atau Dihilangkan” di akun Instagram. Namun setelah ditelusuri, ternyata konten tersebut adalah reshare dari akun KontraS — lembaga resmi yang memang aktif dalam isu HAM. Sayangnya, saat Aju membagikan kembali tangkapan layar unggahan Ferry, ia menghapus konteks penting: bahwa itu berasal dari KontraS. Potongan yang disebarkan seolah-olah menggambarkan Ferry sebagai penyebar narasi tunggal, padahal tidak demikian.

Ironi dimulai di sini. Seorang yang selama ini mengkampanyekan “jangan potong konteks” justru menghilangkan konteks krusial demi membentuk opini publik. Inilah bentuk framing manipulatif yang halus, yang justru dilakukan oleh seseorang yang berdiri atas nama “klarifikasi fakta.”

Lebih jauh, Aju Dewi menuding Ferry memanipulasi video penangkapan seorang anggota TNI, dengan menambahkan frasa “bukan cuma saya.” Tuduhan ini serius karena menyiratkan bahwa Ferry melakukan rekayasa digital atas video sensitif yang viral. Namun, setelah ia sendiri mengajukan analisis forensik digital ke Universitas Indonesia, terbukti bahwa frasa tersebut memang ada dalam video asli. Ferry tidak bersalah. Ia tidak menambahkan apapun. Kendati juga Ferry telah meminta maaf kepada TNI dan publik, saya merasa Ferry tidak salah, sebab kalimat "bukan cuma saya" sangat sulit diidentifikasi siapa yang berbicara. Dengan kejelasan polri yang menyebut perusuh yang ditangkap itu memiliki data lengkap TNI, maka Ferry tidak sepenuhnya salah. 

Yang menarik, meski Aju Dewi juga mengakui kesalahan ini, publik telah terlanjur menyerap tuduhan awalnya. Kebenaran datang terlambat, dan klarifikasi tak mampu membalik kerusakan reputasi yang sudah terjadi. Inilah masalah besar dalam diskusi publik hari ini: kita lebih cepat menyalahkan daripada memverifikasi. Dan ketika klarifikasi datang, kita malas mengedarkannya kembali.

Namun yang paling menyedihkan dari semua ini adalah ketika keluarga korban orang hilang ditekan untuk membuat klarifikasi dan permintaan maaf kepada publik serta institusi tertentu — hanya karena narasi “dihilangkan” dinilai berlebihan oleh Aju Dewi.

Ini sangat tragis. Bagaimana bisa keluarga yang kehilangan anaknya selama hampir tiga minggu yang kemudian ditemukan berjualan barongsai harus meminta maaf? Apakah perasaan cemas, panik, dan kehilangan selama itu tidak valid? Apakah hanya karena anak mereka ditemukan, maka seluruh kekhawatiran itu menjadi kesalahan publik? Apakah keluarga yang anaknya tengah hilang dan belum ditemukan hingga saat ini harus meminta maaf kepada publik?

Ferry menyampaikan dengan tajam:

“Jika saya harus minta maaf, saya bersedia. Tapi bagaimana dengan keluarga yang Tengah kehilangan anaknya? Haruskah mereka? Dan apakah itu lebih penting dari hilangnya anak-anak mereka?.”

Inilah titik nadir moral dari debat ini. DFK (Disinformasi, Fitnah, dan Kebenaran) yang seharusnya membela kebenaran berubah menjadi alat tekanan terhadap orang-orang yang paling rentan: mereka yang kehilangan, mereka yang ketakutan, mereka yang hanya ingin anaknya kembali.

Di ujung podcast, Aju Dewi mengatakan, “Kita harus berbicara yang baik, karena ucapan adalah doa. Kalau kita bilang DPR brengsek, nanti DPR beneran brengsek, dan kita yang rugi.”

Kalimat ini, meski terdengar bijak, menyimpan logika sesat yang dalam. Apakah bangsa ini bisa merdeka jika rakyat takut menyebut penjajah itu brengsek?

Apakah kritik terhadap institusi adalah kutukan, atau justru panggilan moral? 

Inilah ironi terbesar dari para intelektual yang mendewakan “etika berbicara”, tapi melupakan esensi kebenaran. Yang dibutuhkan ruang publik bukan sekadar kata-kata sopan, tapi keberanian menyebut busuk itu busuk. Dan Etika bukan berarti membungkam kebenaran. Etika bukan berarti menghindari kritik demi menjaga suasana.

Fakta di ruang publik selalu kabur dan tidak sesederhana seperti yang diutarakan Aju Dewi. Fakta bukan juga hanya apa yang dikatakan oleh suara mayoritas. Fakta adalah hasil dari proses yang jujur, prosedur yang valid, dan konteks yang lengkap. Jika prosedur pengumpulan fakta cacat, maka fakta itu pun rapuh.

Aju Dewi berkali-kali menyebut “kita harus berdasarkan data” tapi gagal membedakan antara data sebagai angka, dan fakta sebagai kebenaran yang teruji.

Ketika ia tidak tahu siapa saja nama orang-orang yang hilang, padahal ia mengkritisi narasi orang hilang, maka itu bukan bentuk kepedulian, melainkan kedangkalan berpikir. Kepedulian yang sejati dimulai dari mengingat nama, mengingat wajah, mengingat duka.

Dan ketika Ferry menyebut:

“Anda bilang peduli orang hilang, tapi Anda bahkan tak tahu siapa yang Anda pedulikan,”

itu bukan serangan personal. Itu adalah pengingat: bahwa kepedulian tak bisa sekadar slogan.

Debat ini bukan tentang siapa yang menang antara Ferry dan Aju Dewi. Ini adalah tentang bagaimana ruang publik kita kehilangan kompas moralnya. Ketika kepedulian dijadikan alat framing, ketika klarifikasi menjadi tekanan, dan ketika kebenaran tunduk pada narasi “yang enak didengar.”

Bangsa ini tidak dibangun dari kata-kata yang manis, tapi dari kata-kata yang benar. Dan kadang-kadang, kebenaran itu kasar, menyakitkan, dan penuh konflik. Tapi justru di situlah martabat demokrasi ditemukan.

Semua orang hari ini bicara soal “data”, “fakta”, dan “klarifikasi” tapi sedikit yang berbicara tentang nurani, empati, dan keberanian menyuarakan yang tidak nyaman.

Aju Dewi adalah cermin dari banyak orang terpelajar hari ini: cakap secara intelektual, tapi rapuh dalam keberanian moral. Sebaliknya, Ferry Irwandi telah menunjukkan bagaimana integritas bukan soal gelar, tapi soal sikap.

Dalam dunia yang dipenuhi fakta yang bisa dibengkokkan, keberanian menyebut yang benar itu benar, dan yang salah itu salah, adalah satu-satunya jalan agar nurani publik tetap hidup.

0 Komentar