Dialog Sufi: Romantisme Tuhan

Penulis: Alfian Muslim

Editor: Elly 


Ilustrasi Sufi | Sumber: freepik.com

Suatu malam, Saya duduk berbincang dengan seorang teman yang bisa dibilang hidup dalam semangat Sufi, meski bukan sufi dalam pengertian yang tradisional. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk menyelami buku-buku tasawuf, meresapi ajaran Sufi. Tiga tahun telah berlalu sejak terakhir kami duduk bersama seperti ini, dan saya selalu menyesuaikan ritme pembicaraan. Biasanya saya hanya menanyakan soal fikih atau sekadar bertanya tentang Tauhid. Tak pernah saya membuka diskusi terkait topik sosial atau politik. Namun kali ini, saya memutuskan untuk membawa obrolan ke topik yang lebih ringan: perempuan dan cinta, serta fenomena pengangguran kelas kakap.

Saya hanya ingin tahu bagaimana responnya kali ini, karena kami berdua berada di dunia yang sangat berbeda. Dia hidup dalam lingkungan desa dan pesantren tradisional, sementara saya terbenam dalam kehidupan perkotaan yang riuh dan bebas.

"Katamu, cinta itu adalah derajat tertinggi yang menembus dimensi fisik. Tapi menurutku, cinta manusia nggak akan seperti itu. Manusia pasti terikat dengan fisik; cintanya terbatas," ujar saya membuka percakapan.

"Kenapa begitu?" tanya dia, penasaran.

"Misalnya, saya bertemu dengan perempuan cantik dan menyatakan perasaan saya. Kemudian, satu hari setelahnya, perempuan itu jatuh dan wajahnya rusak total. Tanpa disadari, rasa cinta saya pasti luntur secara bertahap. Itu sebabnya, Nabi memberi kita kriteria 'cantik' dalam memilih pasangan," jawab saya.

"Artinya, dimensi fisik lebih dominan bagi manusia." lanjut saya.

"Benar. Luar biasa," tanggapnya singkat.

"Hah? Kamu sependapat? Bukankah ini menyelisihi keyakinanmu?" tanya saya heran.

"Tidak, justru memang demikian. Keindahan adalah bagian yang mengelilingi manusia sejak awal. Karena itu, Allah memberi kita iming-iming surga beserta gambaran keindahannya. Allah mendeskripsikan neraka dengan segala kengerian. Allah juga menyebut diri-Nya indah dan mencintai keindahan."

"Hmm... lalu?" Saya masih merasa ragu. Dia ini terkadang di luar dugaan.

"Ada cerita tentang seorang sufi besar, Syaikh Junaid al-Baghdadi dan seorang perempuan. Suatu hari, seorang perempuan datang mengadu kepada Syekh Junaid karena suaminya hendak menikah lagi dengan perempuan lain.

Syekh Junaid tersenyum dan dengan tenang menjawab, 'Bukankah seorang lelaki boleh menikahi empat perempuan? Jika hanya menambah satu, itu tidak masalah.'

Perempuan itu marah mendengar jawaban Syekh, lalu berkata, 'Seandainya Allah mengizinkan saya melepas cadar ini, niscaya Anda akan tahu betapa cantiknya saya, dan bahwa perempuan secantik saya tidak pantas diduakan.' Setelah itu, perempuan itu pergi. Sementara, Syekh Junaid langsung pingsan."

Tak lama setelah itu, beliau terbangun. Para muridnya pun bertanya, "Kenapa Syaikh pingsan hanya karena perempuan itu?"

Syekh Junaid menjawab, "Aku bukan pingsan karena perempuan itu, tapi karena apa yang dikatakannya seolah-olah Allah berkata demikian padaku. Seolah-olah Allah berkata, 'Seandainya hijabku kubuka, engkau akan tahu betapa indahnya diriku, dan engkau tak akan mungkin berpaling pada yang lain selain pada-Ku, sedikit pun.'"

"Fisik adalah tembok yang menjadi penghalang manusia itu sendiri. Apa yang kamu jelaskan benar, tapi keyakinanku adalah untuk meruntuhkan tembok itu. Bahkan, Islam mengupayakan kita menembusnya dengan riyadloh. Seperti dalam kisah Syekh Junaid tadi. Jika Syekh tidak memiliki cinta yang kuat pada Allah, beliau tidak akan bisa pingsan," jelasnya setelah bercerita.

"Islam tidak memisahkan dunia fisik dan metafisik menjadi dua hal yang bertentangan seperti yang dilakukan August Comte dengan positivismenya. Islam justru mengajarkan kesadaran bahwa dunia fisik terbatas, dan bukan tidak mungkin untuk meraih dunia metafisik. Fisik memang diperlukan, tapi bukan yang esensial. Yang esensial justru yang tidak tampak. Mobil Pajero bagus karena luarnya, tapi esensinya hanya besi yang akan berkarat seiring waktu. Emas hanya berharga jika ada ekonomi yang mendukung di sebuah masyarakat. Emas tak akan berarti jika ekonomi berhenti, dan masyarakat tidak bisa saling memenuhi kebutuhan satu sama lain."

Saya mulai menduga dia memang calon sufi modern. Obrolan ini mengingatkan saya pada esai reflektif Kiai Sahal Mahfudh yang pernah berbicara tentang sufi di tengah gagasan fikih sosial. Judul esainya yang saya masih ingat adalah Sufi di Belantara Modernitas.

Dia melanjutkan, "Ini tercermin dalam konsep ihsan yang dijelaskan oleh Nabi. 'Beribadahlah seolah-olah engkau melihat Allah. Jika tidak bisa, maka yakinlah Allah melihatmu.' Memang tidak mungkin membayangkan Allah melihat kita, tapi bukan tidak mungkin kita merasa seolah-olah diawasi oleh yang tidak tampak."

Seperti biasa, jawabannya bernuansa sufistik. Sulit memang mencari orang seperti dia di kota. Namun, bukan hal yang sulit untuk menemukan penceramah agama di mana-mana. Saya pun ingin melemparkan pertanyaan terakhir.

"Tapi, manusia kini diliputi kegelisahan. Ini tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak. Keinginan untuk segera mencapai apa yang diinginkan dan menginginkan kehidupan yang ideal. Apakah ada solusi?" tanya saya.

"Menentukan skala prioritas," jawabnya.

Dalam hati saya berkata, 'jawaban klasik seorang narasumber.'

Jawaban yang terlintas dalam pikiran saya, seperti yang sering terdengar di webinar dengan tema alay: "Menentukan skala prioritas dan manajemen waktu di era teknologi 4.0 dalam rangka optimalisasi lingkungan belajar yang konstruktif dan positif menyongsong Indonesia emas 2045 berdikari bla bla bla..." Pokoknya tema yang bikin saya mual. Huek...

Dia melanjutkan, "Sederhana, apa yang pasti dan tidak. Hidup kita ini hanya hari ini dan esok. Hari ini bisa kita rasakan, tapi besok adalah kemungkinan-kemungkinan. Dari semua kemungkinan itu, yang pasti hanyalah kematian."

0 Komentar