Minim Sosialisasi dalam Demokrasi menuju FSH Satu

Arrisalah Newsroom – Sebagaimana kita ketahui, Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) telah mengadakan Pemilihan Raya Mahasiswa (PEMIRA), pada selasa lalu, tepatnya tanggal 13 Maret 2018. dalam Pemilihan tersebut terdapat 2 kandidat pasangan calon, yakni Kholilur Rahman berpasangan dengan Tito Novian dengan nomor urut 1 dan M.  Ikhya’ Ulumuddin berpasangan dengan Khafid Hidayatullah dengan nomor urut 2. yang mana dalam PEMIRA tersebut pada akhirnya dimenangkan oleh Paslon Nomor 1. Kendati agenda tersebut sudah berlangsung hampir satu bulan yang lalu, namun masih meninggalkan beberapa tanda tanya di kalangan Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum.

Hal ini sebagaimana yang disampaikan beberapa Mahasiswa FSH yang secara khusus menyampaikan unek-uneknya kepada crew LPM Arrisalah mengenai pelaksanaan Pemira yang dinilainya kurang demokratis. Menurut salah satu mahasiswa FSH yang enggan disebutkan namanya “Menurut saya, Pemira ini kan semacam agenda besar bagi mahasiswa FSH, tapi kok pelaksanaannya kurang transparan. Contohnya, sosialisasinya sangat kurang terutama dalam hal penjaringan kontestan PEMIRA yang tidak banyak diketahui orang, lalu kenapa yang maju hanya dua paslon ? ini seleksinya bagaimana ?, lalu penyampaian visi misi dari calon pun kurang jelas dan sebatas hanya melalui pamflet-pamflet yang ditempel di beberapa tempat dan gambar-gambar di media sosial, kalau seperti itu bagaimana kami bisa tau bagaimana cara para calon itu mengimplementasikan visi misinya. Padahal setau saya dalam pemilihan sekelas ketua OSIS di bangku SMA pun masih ada penyampaian visi misi dan sistem pemilihan yang lebih transparan, mosok ini kampus yang katanya miniatur demokrasi negara sistemnya gini ?” ujarnya.

Hal senada disampaikan oleh Ahmad Afif, “Argumen saya tentang pemilihan Dema kemarin sih menurut saya itu kurang efektif, mulai dari cara pemilihannya. Saya sendiri juga ngga tau tempat pemilihannya itu di mana, kata anak-anak sih di depannya fakultas, saya juga ngga ikut berdemokrasi. Dan sosialisasi atau kampanyenya cuma dengan metode penempelan gambar, itu menurut saya kurang relevan untuk demokrasi pemilihan DEMA. Mungkin dengan cara sosialisasi di tiap kelas agak sedikit membantu proses demokrasi. Bagaimana bisa, ada banyak anak FSH tapi yang iku berdemokrasi hanya kurang lebih 300. Terus, sekarang siapa pemenangnya di antara 2 kandidat calon dan wakilnya saya juga ngga tau. Apa saya kurang peka terhadap sesuatu seperti itu, atau metode-metode yang digunakan untuk proses demokrasi Dema kurang efektif? “ Terang mahasiswa prodi Hukum Keluarga itu.

Menanggapi hal tersebut Asyroful Anam selaku panitia PEMIRA memaparkan, bahwasannya kegiatan ini memang diadakan terlalu cepat, namun sebelumnya panitia pelaksana sudah melaksanakan sosialisasi dan kampanye melalui media online, “Karena sekarang mahasiswa FSH banyak minatnya di media,  dan itu saya jadikan inisiatif baru untuk bersosialisasi di media” Ujar mahasiswa yang akrab disapa Marco ini.

Mirisnya antusias mahasiswa FSH yang berjumlah kurang lebih 3000 mahasiswa, tak dapat mengganggu gugat hasil perolehan suara, yakni 220 suara yang dianggap sah dari 300 suara mahasiswa yang ikut berpartisipasi dalam PEMIRA. Jumlah suara tersebut sudah dianggap sah dan sudah memenuhi syarat yang ditentukan pada Kongres Keluarga Besar Mahasiswa Fakultas (KBMF). “Itu bukan dari Kopurwadi yang membatasi,  karena dari tahun lalu minat mahasiswa untuk pemilihan calon gubernur itu sangat minim dari tahun ke tahun paling banyak itu 300-350, untuk tahun ini saya mengambil 10% suara dari seluruh mahasiswa FSH yaitu sekitar 300 mahasiswa” ujarnya. Harusnya, minimnya angka partisipan Mahasiswa dalam pesta demokrasi ini bisa menjadi evaluasi tersendiri bagi jajaran DEMA, khususnya agar kedepannya Pemira bisa lebih akuntable sehingga tidak menimbulkan prasangka negatif dari para Mahasiswa. (tri)

0 Komentar