Hukum Mati di Bawah Dominasi Politik


Doc.google

Dalam setiap lima tahun kita saksikan perhelatan politik di negeri ini, yakni Pemilihan Umum (Pemilu). Politik merupakan hal lumrah yang sering kita jumpai baik itu pemilihan badan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Semuanya ini merupakan implementasi politik dan dalam pelaksaannya diatur oleh hukum agar tertib dan berjalan dengan kondusif.

Baru-baru ini kita disuguhkan oleh pergulatan hukum dan politik yang seakan saling tarik-menarik, mendominasi, bahkan determinan antar keduanya. Menurut Mahfud MD dalam buku Politik Hukum di Indonesia beliau menyatakan bahwa hukum ditentukan oleh politik, sebab hukum hanyalah suatu kristalisasi, formalisasi, penegasan, dan pelegalan dari kehendak politik. Terciptanya hukum juga atas kehendak politik, di sana juga dijelaskan hukum dipandang sebagai depent variable (variabel terpengaruh), sedangkan politik dipandang sebagai independent variable (variabel berpengaruh).

Meskipun Indonesia merupakan negara hukum (rechtstaat) sudah termaktub pada pasal 1 ayat 3, otoritas politik bisa saja menjungkir balikkan hukum ketika bertabrakan dengan kepentingan politik, sehingga hukum terkesanan tertatih-tatih dalam memenuhi hak dan keadilan masyarakat karena kepentingan elit politik menjadi prioritas. Produk hukum yang dihasilkan rentetan regulasi hanya memihak kepentingan politis dan kelompok tertentu. Keberadaan peraturan tersebut menekan kelompok-kelompok kecil yang tidak berada di lingkaran pemerintahan.

Pudarnya kepercayaan masyarakat kepada penegak hukum terlihat dari banyaknya gelombang protes atas Rancangan Undang-Undang (RUU), Undang-Undang (UU), maupun peraturan lainnya dengan judicial review, kasasi, maupun aksi mahasiswa yang telah terindaksi politis dan sudah tidak relevan untuk diterapkan.

Hukum positif di Indonesia masih terindikasi kepentingan politis, sebab banyak oknum-oknum politik yang memilih berlindung di bawah payung hukum. Sehingga, pelanggaran hak kemanusiaan begitu mudah untuk mengelabuhi mereka yang tak mempunyai kekuatan politik. Mereka melakukan pelanggaran, namun adamnya regulasi yang melindunginya yang membuat mereka aman-aman saja.

Carut marut hukum di Indonesia masih mengaharu biru terhadap peraturan dalam perundang-undangan yang mengatur Pemilu ajang berpolitik sehat, nyatanya masih membeludak pelaku money politic, bahkan menjadi budaya setiap Pemilu dan sudah diatur dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 pasal 532 jo UU nomor 10 tahun 2019 tentang Larangan Money Politic.

Data yang penulis dapatkan bahwa oknum yang masih melakukan politik uang pada 2019 tercatat 132 kasus (Sumber: Katadata). Sehingga, data ini cukup menjadi referensi bahwa kekuatan hukum masih lemah. 

Petugas Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menemukan fakta mengejutkan di Lapas Suka Miskin, saat sel tahanan Setya Novanto lebih luas dan nyaman dari pada tahanan lainnya saat itu, dia bersama dengan terpidana korupsi Nazaruddin saat itu rungan sel pun tidak dikunci (Sumber: CNN Nasional).

Jerry Massie pengamat politik dari Indonesia Public Institute, mengatakan bahwa kebebasan Setya Novanto membuktikan hukum kalah oleh power politik, secara hukum di tahan namun secara politik bebas berkeliaran.  

Hukum sebagai panglima, artinya segala persoalan harus diselesaikan secara hukum, tanpa membeda-bedakan kelas sosial yakni pada asas hukum semua kedudukannya sama di mata hukum (equality before the law) harus ditegakkan oleh penegak hukum. Jika hukum sebagai panglima, seharunya bisa melawan otoritas politik oportunis untuk menunjukkan kegagahannya.

Melihat kenyataan yang begitu pahit, solusi yang seharusnya adalah lembaga hukum dan aktor di dalamnya harus bekerjasama dalam mengawal pembuatan dan pemberlakuan hukum. Meskipun tidak mengatasi semua pelanggaran. Setidaknya, ada usaha meminimalisir pelanggaran tersebut. Supremasi hukum positif masih lemah atas politik. Lembaga kekuasaan seperti eksekutif, legislatif, yudikatif, dan mahasiswa harus saling berkerja sama kolektif-kologial agar melihat hukum dengan gagah di atas politik. (Ody)

0 Komentar